Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya itu sendiri.”

Perlu digarisbawahi bahwa ketidaktahuan tentang benar tidaknya suatu terjemahan undang-undang, dapat menjerumuskan kita ke dalam kekeliruan dalam menerapkan hukum sebagaimana mestinya, dan kekeliruan semacam itu dapat berakibat timbulnya suatu keadaan tidak terdapatnya suatu kepastian hukum bagi masyarakat di Indonesia ini khususnya. Serta hal ini dapat berakibat timbulnya salah penafsiran terhadap asas-asas hukum yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut yang mempunyai 3 (tiga) buah asas penting, yaitu:

  1. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
  2. Asas Non-retroaktif atau “Bahwa undang-undang yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut.”
  3. Bahwa penafsiran secara analogi itu tidak diperbolehkan dalam menafsirkan undang-undang pidana.

A.      Pengertian Penafsiran Secara Analogi

Penafsiran Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.

Penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya. Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana.

Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.

Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogi, singkatnya, bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.

B.       Perbedaan Antara Tafsiran Analogi Dengan Tafsiran Ekstensif

Asas yang menyatakan bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidka boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia sendiri masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa sarjana tidak dapat menyetujuinya, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.

Prof. Scholter (Alg. Deel Asser-Scholter pag. 93), menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif yang nyata-nyata dibolehkan. Kata beliau, “baik dalam hal tafsiran analogi maupun tafsiran ekstensif dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau abstrak) dari norma yang ada, dan dari hal ini lalu didedusir menjadi aturan baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara keduanya itu hanya ada perbedaan graduil saja.

Pendapat Scholter tersebut juga disetujui oleh Prof. Van Hattum dalam bukunya “Hand en leerboek van het Ned. Strafrecht. 1953 pag. 71”. Akan tetapi dipandang oleh beliau tidaklah sebagai contoh yang menggunakan tafsir ekstensif ataupun analogi, tetapi adalah suatu contoh dimana G.R. melepaskan pandangan dunia yang materialistis.

Contoh dari penafsiran akstensif adalah putusan HR negeri Belanda tahun 1921 dimana ditentukan bahwa pengertian “goed” (benda, barang) dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian juga meliputi daya listrik secara tidak sah itu dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut (Electrische energie is een goed varbaar voor wegnemening).

Menurut hemat penulis, apakah dalam pencurian daya listrik itu dianggap sebagai suatu “goed” itu karena tafsiran ekstensif ataupun karena peralihan maknanya dari perkataan “goed” itu hanyalah berlainan kata-kata saja. Yang jelas adalah bahwa kata “goed” pada waktu W.v.S dibentuk hanya bermakna sebagai barang yang berwujud saja, sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud.

Dalam tafsiran ekstensif, kita berpegang pada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Sedangkan dalam tafsiran analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Tetapi perbuatan itu, menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada yang mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu. Karena termasuk inti suatu aturan yang ada, maka perbuatan tadi dapat dikenai aturan yang ada itu dengan menggunakan analogi. Jadi sesungguhnya jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan yang tertentu, bukanlah lagi aturan yang ada, tetapi ratio maksud, inti dari aturan yang ada.

Jika dipandang demikian, maka meskipun tafsiran analogi dan tafsiran ekstensif pada hakekatnya adalah sama, hanya ada perbedaan grudial saja, tetapi dipandang secara psychologis bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang besar antara keduanya, yaitu:

1.      Yang pertama (ekstensif) masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu terjadinya undang-undang, tetapi pada waktu penggunannya. Oleh karena itu masih dinamakan interpretasi.

2.      Yang kedua (analogi) sudah tidak berpegang kepada aturan yang ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Oleh karena itu ini yang bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan sebagai dasar.

C.    Pengaruh Terhadap Tidak Diperbolehkannya Menafsirkan Undang-Undang Pidana Dengan Analogi Terhadap Hasil Putusan Para Penegak Hukum

Dilarangnya penggunaan penafsiran secara analogi dalam hukum pidana itu adalah dengan maksud agar suatu perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang terlarang menurut undang-undang itu, jangan sampai kemudian secara analogi dipandang sebagai suatu perbuatan yang terlarang, hingga pelakunya menjadi dapat dihukum karena telah melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang menurut undang-undang.

Para guru besar pada umumnya berpendapat bahwa penafsiran hukum secara analogi itu tidak boleh dipergunakan dalam hukum pidana, walaupun dengan batas-batas yang berbeda-beda. Menurut Prof. Van Hamel menyatakan bahwa: “Peraturan tentang nullum delictum dan selanjutnya melarang penggunaan penafsiran secara analogi, oleh karena penafsiran semacam itu bukan hanya dapat memperluas banyaknya delik-delik yang telah ditentukan oleh undang-undang, melainkan juga dapat menjurus pada lebih diperberatnya atau lebih diperingannya hukuman yang dapat dijatuhkan bagi perbuatan yang mana pun yang dilakukan tidak berdasarkan undang-undang”.

Menurut Prof. Simmons mengatakan bahwa: “Asas yang terkandung dalam pasal 1 KUHP itu melarang setiap penerapan hukum secara analogi dalam hukum pidana, oleh karena penerapan hukum semacam itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi suatu tindak pidana”.

Prof. Pompe berpendapat bahwa penggunaan penafsiran secara analogi itu hanya dapat dibenarkan, yakni apabila memang benar bahwa dalam undang-undang itu terdapat suatu kekosongan atau leemte, yang disebabkan misalnya karena pembentuk undang-undang lupa mengatur suatu perbuatan tertentu atau tidak menyadari kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa dikemudian hari dan merumuskan ketentuan-ketentuan pidana yang ada secara demikian sempit sehingga perbuatan atau peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat dimasukkan ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang bersangkutan.

Menurut Prof. Bemmalen yang berpendapat bahwa “Pasal 1 ayat (1) KUHP itu juga merupakan suatu jaminan untuk mencegah dilakukannya tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian. Setiap penyidikan dan penuntutan itu dimulai dengan suatu sangkaan, yaitu bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Sejak awal pihak kepolisian dan pihak kejaksaan itu dipaksa oleh pasal 1 ayat (1) KUHP untuk menyelidiki apakah suatu peristiwa tertentu itu benar-benar merupakan suatu peristiwa seperti yang telah diatur dalam suatu ketentuan pidana atau bukan. Dengan demikian, mereka itu dapat dengan mudahnya mengatakan, bahwa apa yang telah terjadi itu mirip dengan suatu tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindak pidana, dan oleh karena itu mereka berhak melakukan penahanan atas seorang tersangka atau melakukan penyitaan atas benda-benda tertentu”.

Apa yang dikatakan Prof. Bemmanlen di atas memang benar, yaitu untuk untuk mencegah agar usaha penuntutan oleh penuntut umum atas diri tersangka di depan pengadilan menjadi tidak sia-sia, oleh karena tersangka kemudian telah dibebaskan oleh hakim karena ternyata orang tersebut tidak terbukti melakukan suatu tindak pidana.

Larangan untuk menggunakan penafsiran secara analogi dalam hukum pidana itu dimaksudkan untuk mencegah timbulnya suatu keadaan, dimana adanya suatu ketidakpastian hukum bagi masyarakat itu menjadi diperbesar. Masyarakat perlu mendapat kepastian dari ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam undang-undang, yaitu tentang perbuatan yang mana adalah merupakan perbuatan yang terlarang dan perbuatan yang mana adalah perbuatan yang tidak dilarang. sumber http://www.densinyo.com/2012/01/penafsiran-undang-undang-secara-analogi.html

Daftar Pustaka :

1.        Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., Dasar-dasar Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

2.        Prof. Moeljatno, S.H., Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

3.        R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor, 1995.