Arbitrase

Arbitrase
Arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti: perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan, secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1.      Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2.      Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
JENIS-JENIS ARBITRASE
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturanyang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjianyang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak.
Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
LINGKUP ARBITRASE
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
PERADILAN ARBITRASE
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi sengketa adalah dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta, arbitrase ini dapat dijadikan solusi terbaik dari perselisihan yang terjadi, karena penyelesaian sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti penting dibanding dengan pengadilan resmi seperti yang dikemukakan oleh HMN Purwosutjipto, diantaranya:
  1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.

  2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

  3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.

  4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai dengan asas keperdataan yang diatur dalam pasal 133 KUH Perdata. Dengan demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara penyelesaian sengketa antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau lebih, yang bertindak sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan untuk memutus (arbitrator power) menurut kebijaksanaanya.
PUTUSAN ARBITRASE
Dalam menyelesaikan perselisihan, dalam prakteknya para arbiter memutuskan sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatutan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum, yang harus dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal KUH Perdata. Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikan keputusan sesuai dengan keadilan maka keputusan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, mereka juga terikat memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka dan memperhatikan peraturan-peraturan hukum.
Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa, dengan syarat terdapat unsur kepentingan yang terkait. Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bonu) pasal 631 Rv. Dalam hal ini putusan yang diambil harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusannya, yang disertai dengan alasan dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam mengambil putusan, tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana putusan diambil, yang ditanda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv).
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang penting, karena terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat (1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi, jika telah memperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut. Selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tata cara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 Rv).
Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari Rp. 500,- dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perselisihan yang memiliki nilai lebih dari Rp. 25.000,- saja yang dapat dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut putusan arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv. Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa kemungkinan untuk meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam klausula atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat (1) Rv).
HAPUSNYA PERJANJIAN ARBITRASE
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:
  1. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.

  2. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi.

  3. Pewarisan.

  4. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.

  5. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.

  6. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

 

sumber http://www.densinyo.com/2012/02/arbitrase.html