SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

 SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

I. PENDAHULUAN

      Sungguh menarik tema utama diskusi Interaktif ini, yaitu: “Sistem Peradilan Indonesia Dalam Perpektif Hukum Responsif”. Penulis menggaris bawahi kata “Hukum Responsif” mengingatkan tulisan Philippe Nonet & Philip Selznick: “Law and Society in Transition”, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1978. Ketika Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998 , tulisan Nonet & Selznick ini mulai banyak diperhatikan oleh para ahli hokum. Kondisi politik Indonesia dipersamakan dengan masa transisi, yaitu dari masa hukum yang bersifat represif menuju kepada masa hukum yang bersifat responsif.

      Apakan hukum represif dan bagaimana hukum responsif itu kiranya dapt dibaca dari teks asli atau terjemahannya. Pemaparan tulisan ini berangkat dari pengalaman empiris penulis dalam sehari-hari berinteraksi langsung dalam sistem peradilan indonesia. Sebagai sebuah profesi yang langsung berhadapan denan masyarakat ‘pencari keadilan’ seorang Advokat Indonesia menemukan posisi dilematis.

       Di satu sisi tuntutan masyaraktat terhadap standar profesi Advokat sangat tinggi. Di sisi lain, posisi Advokat dalam sistem peradilan Indonesia tidak mungkin lepas dari sistem itu sendiri. Jika sistem peradilan bersih dan efisien, maka hal itu vberarti seluruh unsur dalam sistem peradilan juga berjalan dengan efisien dan bersih, demikian juga sebaliknya. sorotan terhadap sistem peradilan di Indonesia, tidak dapt kita lepas dari sistem administrasi birokrasi di Indonesia secara keseluruhan.

      Serinkali tidak disadari vahwa sistem administrasi dapt meminimalisir terjadinya priaktik-praktik suap. Kita cenderung membasmi praktik-praktik suap, korupsi dan KKN melalui tidakan represif sebagaimana yang diperlihatkan oleh KPK dewasa ini. Apabila lembaga negara masih menggunakan tindakan represif seperti KPK, maka tidak ada artinya reformasi KKN melalui tindakan represif sebagaimana yang diperlihatkan oleh KPK dewasa ini. Apabila lembaga negara masih menggunakan tindakan represif seperti KPK,maka tidak aritnya reformasi atau transisi menuju sistem hukum responsif. Jangankan berada di masa transisi, kita masih tetap berada di masa represif.

II. PERMASALAHAN

      Kajian singkat ini akan mempertanyakan: “Sejauh manakah fungsi dan Peran advokat sebagai Penegak Hukum dalam sistem Peradilan Indonesia?”

III. PEMBAHASAN

Judul tulisan ini dimulai dengan kata sinergi. Dalam sistem peradilan di Indonesia umumnya kita dengar istilah “integrated” (terpadu). Khsanah bahasa kita kurang lebih mempersamakan kedua istilah tersebut. Istilah “sinergi” kita adopsi dari suatu pengertian dalam bisnis. Synergism diartikan sebagai “a combination of known elements of fungctions that create a result greater than the sum of the individual elements or functions.”. apbila pengertian ini kigta alihkan ke dalam sistem peradilan di Indoensia, maka model sinergi boleh jadi sebagai gambaran umum yang kita cita-citakan di hati setiap rakyat Indonesia.

       Tulisan ini akan berawal dari satu asumsi kondisi aktual sistem peradilan kita saat ini, yaitu sistem peradilanyang suram, tidak memperoleh kepercayaan masyarakat, tidak sinergis, serta KKN yang sudah memasuki stadium IV. Penulis mencoba menawarkan suatu solusi, yaitu solusi pembenahan administrasi peradilan dan pembenahan hukum acara, baik pidana maupun perdata. Secara teoritis, sistem penegakan hukum merupakan bagian dari lembaga, negara yang berada di bawah cabang kekuasaan negara yang berbeda.

     Peradilan berada di cabang Yudikatif, sementara Polisi, Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan berada pada cabang kekuasaan Eksekutif. Di manakah posisi Advokat? Berdasarkan UU No. 18 ?Tahun 2003, posisi Advokat adalah suatu profesi mandiri dan independen terhadap cabang kekuasaan negara manapun. Lebih tepat jika dikatakan bahwa profesi Advokat itu berada posisi raktyat baik secara individu maupun dalam tatana masyarakat. Dalam perkara pidana, misalnya: negara dwakili oleh jaksa penuntut umum, Advokat di pihak individu (tersangka) yang membela HAM, sedangkan Hakim berada di posisi netral.

      Berbagai teori politik menghendaki kekuasaan peradilan yang independensi, tetapi secara praktik lembaga peradilan merupakanlembaga yang paling mudah terkoptasi oleh kekuasaan lainnya. Hamilton, salah satu founding Fathers konstitusi Amerika Serikat mengatkan: Eksekutif memegang pedang penguasa kepada rakyat. Legislatif bukan hanya pemegang kekuasaan terhadap penggunaaan dana rakyat tetapi juga membuat peratusran mengenai hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh rakyat. Yudikatif, sebaliknya, tidak punya akses terhadap kekuasaan maupun terhadap dana. Mereka tergantung kepada eksekutif bahkan untuk menjalankan putusannya.

      Montesquieu yang teori Trias Politicanya digunakan oleh seluruh negara modern, mengakui bahwa yudikatif memang merupakan cabang kekuasaan negara yang paling lemah. Bagaimana kondisi administrasi lembaga negara kita secara umum dapat disimak dari pengalaman penulis. 30 tahun lalu ketika penulis ke Singapore untuk melakukan legal audit terhadap sebuah kapal milik perusahaan di singapore yang akan dijual kepada seorang pengusaha Indonesia.

       Penulis hanya perlu datang ke bagian Company Registration dan dalam waktu 15 menit, penulis memperoleh data-data tentang perusahaan tersebut srta asset-assetnya. Penulis hanya perlu membayar Sing$ 10,- dan berhasil mengetahui bahwa asset kapal yang akan dijual tersebut diagunkan ke Bank of Moskwa. Di Indonesia hari ini, bagaimana jika kita ingin mengetahui apakah suatu perusahaan sah sebagai badan hukum atau tidak; atau inginmengetahui apakah orang yang menandatangani perjanjian adalah direktur yang sah atau tidak, sugnguh suatu pekerjaan yang tidak mudah.

      Aklibatnya untuk mengetahui informasi yang seharusnya menjadi hak publik, kita bahkan harus mengeluarkan biaya yang tidak perlu, biaya suap, KKN. Di negara kita, sistem pembenahan informasi peradilan sebagai suatu pendukung dan dasar sistem peradilanyang baik, agaknya disepelikan. Di Singapore, konon budaya pengefektifan ADR dan sistem peradilann yang sangat efektif menyebabkan pengadilan kekurangan perkara. Pengadilan berlangsung tepat waktu dan menepati skedul sehingga tidak ada perkara yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Di Indonesia, pengalaman penulis, dari sejak sidang dimulai sampai eksekusi perkara perdata diperlukan waktu 15 tahun!!! Contoh lain, ketika sistem informasi “112” masih berfungsi di Mahkamah Agung dapat digunakan oleh siapa saja tanpa biaya dan cukup anda datang ke MA, maka Advokat tidak perlu mengeluarkan banyak hanya untuk mengetahui sudah sampai di mana perkaranya berjalan.

       Advokat tidak perlu mencari “orang dalam” untuk memantau perkembangan perkara. Tetapi sistem informasi yang “anti KKN” ini tidak berumur lama. Ketika pimpinan tidak mempunyai visi sistem informasi dan menyepelekan pembenahan sistem administrasi peradilan, maka muncullah sumber atau peluang suap. Ketika kasus Probosutejo mencuat, maka sistem informasi “112” diaktifkan kembali. Sudah terlambat. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini sudah rusak!! Apabila kondisi ini kita transformasikan kepada perkara pidana yang diajukan ke Pengadilan, maka situasinya menjadi lebih tumpang tindih dan semrawut.

    Contoh: baerapa lembaga yang melakukan penyidikan perkara korupsi? Di Indonesia ada 3 lembaga, bahkan bisa 4 lembaga atau bahkan banyak lembaga. Yang remi menurut UU: Polisi, Jaksa dan KPK. Lembaga yang juga bisa menyidik perkara yang substansinya sama dengan korupsi: Bea Cukai, Angkatan Laut, Keuhanan dll. Dalam perkara pidana, tidak berjalannya administrasi sistem peradilan yang efektif dan baik akan berakibat kepada pelanggaran HAM seorang tersangka/terdakwa. Sebagai contoh dalam perkara tindak pidana korupsi Tol JORR-Cikunir dengan terdakwa Hamid djiman, tersangka disidik oleh Kejaksaan Agung RI. Tersangka ditahan selama 120 hari. Dalam masa tersebut, tersangka hanya diperiksa sebanyak 6 kali, masing-masing kurang lebih 4 jam.

     Di tahap penuntutan, penahanan diteruskan sebelum akhirnya dilimpahkan ke Pengadilan. Apabila kondidi ini dikaitkan dengan Hak Tersangka untuk memperoleh peradilan yang cepat, contoh ini jelas merupakan suatu pelanggaran HAM yang sangat buruk: merampas kemerdekaan jiwa-raga seseorang. Manakala Tersangka mau membela haknya, upaya hukum apa yang dimilikinya? Tidak ada. Bahkan Praperadilan pun tidak!! Ketika penulis membela perkara Hendra Rahardja di Australia, setiap persidangan berlangsung dalam waktu beberapa jam setelah persidangan, Advokat dapat memperoleh salinan berita acara sidang pada hari itu, di Indonesia, sampai selesai peridangan pun, Advokat tidak pernah memperoleh salinan Berita Acara Sidang. Sehingga seringkali terjadi Berita Acara sidang dapt dibuat berdasarikan pesanan. Jika sidang berlangsung berlangsung dalam waktu yang panjang, pengajuan bukti-buktidari Advokat seringkali dilupakan ataudiabaikan saja, atau dihilangkan dari berkas perkara sehingga hakim tidak bisa mempertimbangkan dengan baik dan benar.

      Kasus Pilkada Depok merupakan salah saru contoh. Penilaian Komisi Yudisial menyatakan bahwa hakim tidak mempertimbangkan bukti-bukti secara berimbang. Contoh lain, perkara Nurdin Halid. Pada perdidangan yang terbuka untuk umum, terungkap dari pernyataaan 33 orang saksi, bahwa BAP yang dibuat Polisi adalah rekayasa. Halaman pertama BAP diganti dan paraf para saksi di halaman pertama dipalsukan. Sekalipun konsisi ini rerungkap di persidangan, hakim tidak menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dan persidangan tetap diteruskan. Rekayasa ini hanyalah dianggap sebagai pelanggaran administrasi BAP.

     Tetapi bagaimanapun juga rekayasa BAP tersebut telah menyebabkan pelanggaran HAM seorang Terdakwa. Tetapi sayangnya, tidak ada yang dapat dilakukan oleh Terdakwa, sistem peradilan kita dan sistem hukum acara kita tidak menyediakan upaya hukum jika HAM Terdakwa dilanggar oleh unsur sistem peradilan lainnya. Kondisi represif seperti ini sunguh mengenaskan karena di atas upopia masa transisi menuju hukum responsif, tidak perduli berapa banyak undang-undang baru milik kita yang mengatur sistem peradilan dan lembaga-lembaga dalam sistem peradilan, sistem peradilan kita ternyata tidak pernah menalami reformasi atau transisi secara mendasar. Pernah seorang hakim revolusioner mencoba untuk memperbaiki sistem peradilan PN. Sang Ketua PN memerintahkan agar di PN diberikan papan pengumuman yang menjelaskan secara terinci berapa biaya-biaya perkara, biaya eksekusi, dan lain-lain berdasarkan peraturan resmi. Sang Ketua PN segera dimusuhi bawahannya.

      Maka begitu pimpinan berganti, papan tersebut pun ikut lenyap entah kemana. Sepanjang karir profesi Advokat, penulis tidak pernah tahu berapa biaya resmi gugatan dan apa dasar hukum peraturan perundang-undangannya. Contoh ini saja sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana sistem peradilan kita berjalan. Di berbagai instansi lain sudah lazim pembayaran biaya resmi suatu izin atau permohonan dilakukan di bank dengan menghitung sendiri atau berdasarkan darta biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tetapi di pengadilan, suatu ironi, pembayaran biaya perkara masih dilakukan manual. Fungsi Advokat sebagai ekspresi equality dalam sistem peradilan Indonesia, khususnya peradilan peidana digambarkan oleh M. Trapman sebagai berikut: Het standpunt van de verdachte karakteriseerde hij aals de subjectieve beoordeling van een subjectieve positie, dat van de raadsman als de objectieve beoordeling van een subjectieve positie, dan van de openbare ministerie als de subjectieve beoordeling van een objectivieve positie, dat van de rechter als de objectieve beoordeling van een objectieve positie; yang terjemahannya :

     Bahwa (dalam peradilan pidana) Terdakwa pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang subyektif; Penasehat Hukum mempunyai pertimbangan yang obyetif dalam posisi yang subyektif; Penuntut Umum mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang obyektif, sedangkan Hakim mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang obyektif. Fungsi tersebut tidak dapat dilepas dari kedudukannya sebagai representasi masyarakat baik individu maupun kelompok.

     Pada perkara pidana, seorang Acvokat terutama berfungsi sebagai penjaga agar HAM seorang Tersangka dilindungi. Fungsi lainnya adalah menjaga objektivitas dan prinsip equality before the law yang berlaku dalam sistem peradilan Indonesia. Namun bagaimana prakteknya? Pandangan bahwa Advokat tidak sejajar dalam sistem peradilan Indonesia, adalah pandangan lama tetapi masih kuat tertanam dalam alam pikiran hakim. Pikiran seperti ini merupakan peninggalan sistem peradilan di masa kolonial yang belum mampu kita transisikan ke arah sistem responsif.

      Penulis berpendapat, terdapat lebih dari 90% perkara pidana yang diajukan di pengadilan tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang diajukan oleh Advokat. Artinya, hakim mengabaikan objektivitas. mengabaikan HAM Tersangka dan hanya menikuti requisitor Penuntut umum. Kondisi ini makin buruk karena 90% perkara yang diajukan denan ancaman 5 tahun atau lebih ternyata tidak didampingi oleh Advokat. Bahkan di Jakarta, rakyat kecil yang tidak mampu duduk sebagai Terdakwa tanpa didampingi Advokat adalah pemandangan biasa. Perlindungan sistem peradilan terhadap korban pelangaran HAM masih belum jelas, kita ternyata belum mempunyai mekanisme formal maupun substantif untuk merubahnya. Perlu suatu sistem peradilan yang berimbang dan melindungi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh lembaga-lembaga unsur sistem peradilan.

IV. KESIMPULAN

       Dari uraian tersebut diatas, maka dapt disimpulkan bahwa kondisi sistem Peradilan di Indonesia saat ini belum mengalami reformasi yang substansial, bahkan masih menerapkan sistem hukum yang represif. Peran Advokat sebagai bagian dari sistem peradilan yang merupakan representasi penegakan HAM individu atau masyarakat, belum sederajat dengan unsur-unsur sistem peradilan lainnya. Tersangka dan Terdawa selalu berada dalam posisi “korban” yang rawan mengalami pelanggaran HAM.

     Sedangkan sistem Peradilan Indonesia belum menyediakan upaya hukum untuk mengatasi pelanggaran HAM tersebut. Konsisi ini semakin diperburuk dengan sistem peradilan yang tidak efisien dan tidak terbuka serta mengabaikan administrasi sistem peradilan menyebabkan peradilan seolah-olah hanya berpihak kepada orang yang mampu membayar. Padahal konsep sistem peradilan yang sinergis merupakan konsep yang baik. Kombinasi atau kerjasama antar lembaga unsur-unsur sistem peradilan akan menghasilkan keadilan yang lebih merata dan dirasakan oleh lebih banyak orang, dibandingkan jika lembaga unsur sistem peradilan tersebut berjalan sendiri-sendiri.

Oleh: OTTO CORNELIS KALIGIS