Category Archives: Berita Hukum

MA Terbitkan Perma Batasan Tipiring

“Komisi III DPR menilai Laporan Tahunan MA 2011 kurang menjelaskan agenda reformasi peradilan yang dilakukan.”

Ketua MA Harifin A Tumpa sampaikan Laporan Tahunan MA Tahun 2011.

Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP.

Informasi inilah salah satu yang terungkap dalam Laporan Tahunan MA Tahun 2011. Laporan tahunan disampaikan Ketua MA Harifin A Tumpa dalam sidang pleno tahunan di ruang Kusumah Atmadja gedung MA, Selasa (28/2). Acara yang diliput media massa ini dihadiri pimpinan pengadilan tingkat banding, hakim agung, serta sejumlah pimpinan lembaga negara.

Tipiring yang perlu mendapat perhatian meliputi Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP. Nilai denda yang tertera dalam pasal-pasal ini tidak pernah diubah negara dengan menaikkan nilai uang. “Menaikkannya sebanyak 10.000 ribu kali berdasarkan kenaikan harga emas,” kata Harifin.

Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya. “Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk kita bekerja lebih efektif dan efisien,” harapnya.

Tindak 130 aparat
Dalam kesempatan yang sama, Harifin menyampaikan aspek pengawasan peradilan. Selama tahun 2011 Badan Pengawas Mahkamah Agung telah menerima 3.232 pengaduan. Sebanyak 2.833 merupakan pengaduan langsung dari masyarakat, 285 dari institusi, dan 141 pengaduan disampaikan secara online.

Dari 3.232 pengaduan itu, hanya 130 aparat peradilan yang dihukum. Sebanyak 43 aparat peradilan dikenakan hukuman disiplin berat, 22 dijatuhi hukuman sedang, dan 62 dikenakan hukuman disiplin ringan. Selain itu dua orang dari peradilan militer dikenakan sanksi teguran, dan satu orang lagi dikenakan penahanan ringan.

“Dari total 130 aparatur peradilan yang dikenakan sanksi, mayoritas 38 persen adalah hakim. Disusul staf pengadilan sebesar 19,6 persen, dan panitera pengganti sebesar 11,8 persen,” kata Harifin.

Sedangkan, pelanggaran yang paling sering terjadi adalah pelanggaran disiplin sebanyak 53,85 persen, unprofessional conduct 20,77 persen, dan pelanggaran kode etik 13,85 persen.

Harifin menjelaskan selama 2011, MA dan Komisi Yudisial (KY) telah menggelar sidang Majelis Kehormatan Hakim sebanyak empat kali. “Dari MKH itu, satu orang hakim diberhentikan tidak hormat, satu orang hakim diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri, satu orang hakim dinonpalukan dan dimutasi, dan satu orang hakim diberi teguran tertulis,” ungkap Harifin yang akan mengakhiri masa jabatan pada 1 Maret 2012.

Menurut Harifin, secara umum capaian pelaksanaan fungsi utama memutus dan mengadili perkara sepanjang tahun 2011, MA terus menunjukkan peningkatan, terlepas dari turunnya jumlah perkara yang diputus secara keseluruhan. “Tingkat clearance rate (rata-rata penyelesaian perkara) yang berhasil dicatat sepanjang tahun 2011 mencapai 117,19 persen. Dari 12.990 perkara yang masuk, MA berhasil mengirim kembali 15.223 perkara (yang telah diputus, red) ke pengadilan pengaju. Catatan ini sangat baik, karena berarti tumpukan perkara di MA terus berkurang,” tegas Harifin.

Terkait dengan perkara yang menarik perhatian publik, khususnya perkara pidana khusus, dalam hal ini perkara tindak pidana korupsi, sepanjang tahun anggaran 2011, sekitar 1.705 perkara yang mayoritas (92,09%) dari jumlah tersebut berujung pada amar penghukuman terhadap terdakwa.

Sebanyak 527 kasus korupsi diputus dengan denda mencapai Rp 53,85 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 427,72 miliar. Sebanyak 560 kasus narkoba dengan denda Rp 374,80 miliar, sebanyak tujuh kasus pencucian uang dengan denda Rp 16,4 miliar, sebanyak 295 kasus perlindungan anak dengan denda Rp 12,511 miliar, serta sebanyak kasus 42 kasus kehutanan dengan denda Rp 3,77 miliar.

“Total denda denda dan uang pengganti yang diselematkan MA mencapai Rp 992,64 miliar,” ungkap Harifin.

Hal lain yang disampaikan dalam laporan tahun 2011 ini terkait capaian dalam program pembaruan peradilan, akses terhadap keadilan, pembinaan dan pengelolaan SDM, alokasi dan relokasi anggaran, material dan akses infrastruktur teknologi informasi, penelitian dan pengembangan pelatihan hukum, peran serta MA dalam forum internasional. Ada juga tentang pelaksanaan sistim kamar, keterbukaan informasi, pelayanan bantuan hukum di pengadilan.

Ketua Komisi III DPR menilai Laporan Tahunan MA 2011 masih kurang menjelaskan agenda reformasi peradilan yang dilakukan. Menurut Benny, apa saja yang sudah dilakukan, keberhasilan, kegagalan MA selama 2011 berikut persoalannya belum tergambar.

“Apa yang menjadi problem reformasi peradilan belum nampak dalam laporan, lebih banyak daftar perencanaan. Laporan Tahunan MA Tahun 2011 ini belum banyak hal yang baru. Ini masih jauh dari harapan publik,” kritik Benny.

Benny mencontohkan tunggakan perkara dalam laporan tidak dibarengi dengan paparan beban kerja kinerja setiap hakim agung per bulan atau per tahun. Akibatnya, publik tidak tahu berapa beban kerja hakim agung dalam menyelesaikan perkara setiap bulan atau per tahun guna mengukur capaian kinerja para hakim agung baru.

“Ini penting bagi dewan untuk mengetahui akar persoalan masalah peradilan (penumpukan perkara, red). Selain itu, pengajuan PK dua kali masih terjadi di MA dan putusan PK saling bertentangan. Ini tidak dijelaskan. Apa capaian pembaruan hukum luar biasa yang dicapai juga tidak dijelaskan. Makanya, kita berharap dengan ketua MA baru untuk bisa menangkap harapan publik,” ujar politisi Partai Demokrat ini.

Hukumonline.com

 

HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH;Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.

Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. Continue reading

Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya itu sendiri.” Continue reading

PERBEDAAN HAM DIBAWAH UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, DAN UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN

PERBEDAAN HAM DIBAWAH UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, DAN UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

Rujukan Dasar

Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Konstitusionalisme Indonesia

Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares

Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Kesimpulan

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.

Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.

Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun. sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/31/perbedaan-ham-dibawah-uud-1945-sebelum-amandemen-konstitusi-ris-1949-uuds-1950-dan-uud-1945-setelah-amandemen/

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

Pengertian Daerah Khusus

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah

  1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Provinsi Aceh;
  3. Provinsi Papua; dan
  4. Provinsi Papua Barat.

UU Khusus Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Continue reading

Marzuki: Saya Memang Terlupakan oleh Sekjen, Tapi Saya Maafkan

Jakarta – Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengaku lalai tidak melaporkan proyek ruang Banggar senilai Rp 20 miliar kepada Ketua DPR Marzuki Alie. Bagaimana tanggapan Marzuki? Politisi Demokrat ini merasa terlupakan, meski memaafkan kesalahan Nining. “Untuk kasus ruang Banggar ini memang saya terlupakan diinfokan oleh Bu Sekjen. Bu Sekjen sudah ke rumah semalam dan sudah saya maafkan,” tutur Marzuki dalam jumpa pers di kantor KPK, Jl Rasuna Said, Jaksel, Jumat (20/1/2012). Continue reading

Benarkah TNI dan Polri Bersih dari Korupsi? ?

Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), sejumlah masyarakat masih menganggap TNI dan Polri bersih dari korupsi. Jumlah suara untuk kedua lembaga itu pun cukup tinggi. Benarkah mereka bersih?

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai data survei itu tidak sepenuhnya salah. Selama ini, kata Febri, masyarakat memang tidak diberi informasi yang cukup soal fenomena kasus di TNI dan Polri.

“Info dari masyarakat menurutku datang dari berbagai sumber. Tapi yang pasti sumber-sumber info tersebut agaknya jarang bicara tentang TNI,” kata Febri saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/1/2012). Continue reading

Bocah 12 Tahun Jadi Tersangka Kasus Perkelahian

MEDAN (BeritaHUKUM.com) – Nasib tragis menimpa bocah berusia 12 tahun bernama Fahmi. Siswa kelas dua Madrasah Tsanawiyah Al-Ulum Medan, Sumatera Utara (Sumut), berkelahi dengan Rinto (12), anak oknum perwira polisi yang bertugas di Polres Belawan. Ia pun telah ditetapkan sebagai tersangka yang kasusnya masih diproses Polsek Patumbak, Medan.

Meski tidak ditahan, Fahmi dikenakan wajib lapor dua minggu sekali. Penangguhan penahanan ini atas jaminan orang tua tersangka, Alinur, yang menjamin bahwa putranya takkan melarikan diri. “Padahal yang dipukuli itu anak saya (Fahmi), bukannya Rinto. Tapi malah Fahmi yang dijadikan tersangka. Apakah karena kami ini orang susah, sedangkan orang tua Rinto seorang perwira polisi,” kata Ali Noor kepada wartawan di Medan, Jumat (6/1). Continue reading

Wewenang Polisi Dipereteli

 

Penanganan keamanan nasional yang sejak masa reformasi ditangani Kepolisian Negara Republik Indonesia akan ditangani Dewan Keamanan Nasional. Itu terjadi jika substansi dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang masih berada di Sekretariat Negara disetujui parlemen.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, di Jakarta, Minggu (8/1), mengakui, dari sisi Polri, RUU Keamanan Nasional terasa memereteli kewenangan dalam menentukan keamanan nasional. Namun, sebenarnya RUU itu justru menempatkan kewenangan kepolisian dalam hal keamanan nasional secara proporsional. Continue reading

Pecat Petugas yang Terlibat Sindikat Narkoba

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Taswem Tarib menegaskan, pihaknya tak akan segan-segan menindak tegas petugas yang terbukti terlibat dalam peredaran narkotika di dalam lapas (lembaga pemasyarakatan).

Hal tersebut dikatakannya seusai menyerahkan barang bukti sabu seberat 3,2 gram yang ditemukan di kamar tahanan Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2012). “Kalau ada petugas yang terlibat, sanksinya satu, berhenti dari PNS,” ungkapnya. Continue reading