Kode-kode Administrasi Perkara
Kode-kode Administrasi Perkara
Didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Kode-kode tersebut adalah kode administrasi yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana. Continue reading
Membuat Surat Keputusan
Membuat Surat Keputusan
Surat Keputusan berisi tiga hal pokok, yaitu
- konsiderans,
- desideratum dan
- diktum.
Konsiderans
Konsiderans adalah bagian surat keputusan yang berisi hal-hal yang menjadi pertimbangan pembuatan surat keputusan. Yang dimuat dalam konsiderans adalah nama undang-undang, keputusan terdahulu, peraturan, usul, dan saran yang dirinci kedalam sub topik menimbang,mengingat, membaca, mendengar dan memperhatikan. Continue reading
Perbedaan badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum
Perbedaan badan usaha yang berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum
Bahwa tidak semua badan usaha merupakan suatu badan hukum, disini kami akan sedikit memberikan penjelasan secara singkat mengenai perbedaan antara badan usaha yang telah berbadan hukum dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum, sebagai berikut:
Badan Usaha Yang Berbadan Hukum :
- Subjek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri ,karena ia telah menjadi badann hukum yang juga termasuk subyek hukum di samping manusia.
- Harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya.Akibatnya kalau perusahaannya pailit, yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja (harta pribadi pengurus /anggotanya tetap bebas dari sitaan) Continue reading
POS BANTUAN HUKUM (POSBAKUM) PADA PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA
Terhitung sejak tanggal 16 April 2012 Pengadilan Negeri Yogyakarta secara resmi menyelenggarakan Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) di Kantor Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Pos Bantuan Hukum (Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada Pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat.
Penyelenggaraan kegiatan ini di tandai dengan penandatanganan Memorandum Of Understanding (MOU) antara Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan 4(empat) Pimpinan/Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di Yogyakarta dalam hal bekerja sama dalam penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum di kota Yogyakarta. Keempat Pimpinan/Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum tersebut adalah :
1. | Abdul Jamil, SH.MH., Direktur LKBH Universitas Islam Indonesia, beralamat di Jalan Lawu No. 3, Kotabaru, Yogyakarta |
2. | Sudiyana, SH.Mhum., Ketua LKBH Universitas Janabadra, beralamat di Jalan Timoho II/40, Yogyakarta |
3. | Heniy Astiyanto, SH., Direktur PKBH Universitas Ahmad Dahlan, beralamat di Jalan Cendana No. 9A Lantai II Yogyakarta |
4. | Andi Suryo Awaludin, SH., Direktur PBHI Yogyakarta, beralamat di Jalan Dorodasih No. 34 Patangpuluhan Wirobrajan Yogyakarta |
Dengan telah disepakatinya perjanjian tersebut maka telah disediakan pula ruangan khusus di Pengadilan Negeri Yogyakarta bagi Petugas Piket dari Keempat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum tersebut untuk memberikan layanan Bantuan Hukum bagi Masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu secara ekonomis dalam menjalankan proses hukum di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Untuk warga masyarakat yang tak mampu dan terbelit masalah hukum, terutama saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta, mulai kini dapat memanfaatkan jasa Pos Bantuan Hukum (Posbakum).
Dengan adanya Posbakum ini maka akan membantu masyarakat yang tak mampu dan terpinggirkan sesuai hak asasi masyarakat. Pemberian bantuan hukum ini untuk meringankan beban biaya yang harus ditanggung masyarakat yang tak mampu di pengadilan, memberikan kesempatan yang merata pada anggota masyarakat yang tak mampu untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum jika berhadapan dengan proses hukum di pengadilan, meningkatkan akses kepada keadilan dan meningkatkan kesadaran serta pengetahuan masyarakat tentang hubungan hukum terkait pemenuhan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban. Dengan adanya Posbakum yang terbentuk, diharapkan dapat memberikan pencerahan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Posbakum tak hanya membantu masalah menyangkut perkara, namun dapat juga menjadi tempat masyarakat meminta konsultasi hukum terhadap permasalahan yang terjadi.
Bagi masyarakat yang akan meminta bantuan hukum pada Posbakum di Pengadilan Negeri Yogyakarta bisa datang langsung ke Kantor Pengadilan Negeri Yogyakarta yang beralamat di Jalan Kapas N0. 10, Semaki, Yogyakarta.
Adapun persyaratan dan mekanisme untuk mendapatkan bantuan hukum pada Posbakum tersebut sebagaimana yang telah ditentukan dalam Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2010, antara lain :
Penerima Jasa Pos Bantuan Hukum atau Pemohon Bantuan Hukum
Yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan Negeri dalam hal tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai Penggugat/Pemohon maupun Tergugat/Termohon dan bantuan tersebut diberikan secara cuma-cuma tanpa dipungut Biaya.
Jenis layanan yang bisa diperoleh pada Pos Bantuan Hukum
- Bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum;
- Bantuan pembuatan dokumen hukum;
- Advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata;
- Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk Pembebasan Pembayaran Biaya Perkara sesuai syarat yang berlaku;
- Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat Bantuan Jasa Advokat sesuai syarat yang berlaku.
Syarat dan Mekanisme Permohonan Bantuan Hukum
Pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Advokat Piket pada Pos Bantuan Hukum dengan mengisi formulir secara lengkap dan melampirkan :
- Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong; atau
- Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tuni (BLT); atau
- Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Lembaga Penyedia Bantuan Hukum pada POSBAKUM
1. | LKBH Universitas Islam Indonesia |
Alamat Kantor : Jalan Lawu No. 3, Kotabaru, Yogyakarta | |
Website : http://www.uii.ac.id/ | |
e-mail : pkbh@uii.ac.id | |
2. | LKBH Universitas Janabadra |
Alamat Kantor : Jalan Timoho II/40, Yogyakarta | |
Website : http://www.janabadra.ac.id/ | |
3. | PKBH Universitas Ahmad Dahlan |
Alamat Kantor : Jalan Cendana No. 9A Lantai II Yogyakarta | |
Website : http://www.pkbh.uad.ac.id/ | |
e-mail : pkbh_uad@yahoo.com | |
4. | PBHI Yogyakarta |
Alamat Kantor : Jalan Dorodasih No. 34 Patangpuluhan Wirobrajan Yogyakarta | |
Website : http://www.pbhi.or.id/ | |
e-mail : pbhijogja@yahoo.com
Sumber : http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/ |
Penegakan Hukum Lemah Penyelundupan Narkotika Masih Terus Dicoba
Penegakan Hukum Lemah Penyelundupan Narkotika Masih Terus Dicoba

KOMPAS
Petugas Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya menunjukkan tersangka serta barang bukti 350.000 pil ekstasi dan 200 gram sabu saat merilis hasil pengungkapan sindikat narkoba internasional di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (13/3).
Jakarta, Kompas – Hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang dinilai tidak memberikan efek jera. Eksekusi pidana mati tak diterapkan. Sanksi pidana yang dijatuhkan pun cenderung lebih ringan.
Hukuman yang ringan membuat pelaku peredaran gelap narkotika secara internasional beranggapan penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Indonesia tetap menjadi pasar jaringan narkotika internasional.
Demikian diutarakan Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional (BNN) Benny Mamoto dan Wakil Direktur Direktorat Narkotika Polri Komisaris Besar Anjan Pramuka di Jakarta, Selasa (13/3). ”Indonesia menjadi pasar yang bagus karena harga bagus, pemakai besar, dan penegakan hukum masih bisa diatasi. Itu penjelasan Abbas, tersangka dari jaringan Iran yang saya interogasi di Thailand,” kata Benny Mamoto.
Benny menilai, hukuman kepada pelaku kejahatan narkotika masih lemah. ”Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak ada vonis mati,” ujarnya.
Dari sebagian besar kasus, menurut Benny, putusan di pengadilan lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Sebagai contoh, ada warga negara Malaysia yang masuk membawa 44 kilogram sabu ke Indonesia dituntut mati. Namun, putusan yang dijatuhkan hukuman seumur hidup. Selain itu, terdakwa Hartoni juga dituntut hukuman mati, tetapi majelis hakim menghukum selama 20 tahun.
Dengan hukuman yang ringan, pelaku tidak jera. Bahkan, pelaku atau terpidana masih dapat mengendalikan transaksi narkotika melalui jaringan dari dalam penjara. Pegawai lembaga pemasyarakatan (LP) pun terlibat.
BNN menangkap Kepala LP Narkotika Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Marwan Adli dan dua petugas LP. Mereka diduga terlibat dalam perdagangan narkotika di LP. ”Marwan divonis 13 tahun,” ungkap Benny.
Saat ini, menurut dia, ada 58 terpidana yang divonis mati dengan mengacu UU lama, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Eksekusi terhadap terpidana mati seharusnya cepat dilakukan sehingga pelaku jaringan narkotika internasional tahu penerapan hukum terhadap kejahatan narkotika di Indonesia sangat keras.
Anjan menambahkan, pemberantasan narkotika tak cukup dilakukan dengan penindakan atau penegakan hukum. Berbagai upaya harus terus dilakukan melalui pemberdayaan dan peran masyarakat. ”Pemberantasan narkotika harus dimulai dari lingkungan terkecil, seperti keluarga dan lingkungan,” katanya.
Indonesia menjadi incaran jaringan narkotika internasional karena perbedaan harga di negara produsen dengan Indonesia yang tinggi. Sebagai gambaran, ungkap Anjan, harga 1 kilogram sabu di Iran sekitar Rp 100 juta. Di Indonesia, harganya bisa mencapai Rp 1,5 miliar. Bisnis narkotika di Indonesia sangat menjanjikan.
Pencegahan dini, menurut Benny, amat penting agar pangsa pasar narkotika di Indonesia dapat ditekan. Saat ini diperkirakan 3,8 juta warga Indonesia terpengaruh narkotika. Jumlah ini adalah sekitar 2,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Terus menyelundupkan
Tim terpadu Kementerian Keuangan, BNN, TNI, dan Polri, Selasa lalu, menggagalkan penyelundupan 704,2 gram sabu dari Thailand ke Denpasar, Bali, melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Keberhasilan ini sekaligus menunjukkan, jaringan narkotika internasional terus coba menyelundupkan narkotika ke Indonesia. Pelbagai cara ditempuh untuk memasukkan barang haram itu.
Menurut Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta Joko Sutoyo Riyadi, penyelundupan itu terungkap dari kecurigaan petugas terhadap paket berisi mesin pemijat elektris dari Thailand ke Denpasar melalui jasa titipan United Parcel Service (UPS). Paket itu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. Paket itu diteliti berdasarkan analisis telik sandi (intelijen), manajemen risiko, serta sistem pemeriksaan dan pengawasan.
Paket itu dibongkar. Benda lain berupa bungkusan aluminium foil pun ditemukan. Di dalamnya ada plastik berisi serbuk kristal putih. Serbuk itu diuji di laboratorium dan dipastikan sebagai narkotika jenis methamphetamine atau sabu seberat 704,2 gram senilai Rp 1,4 miliar.
Dari temuan itu, menurut Sumirat Dwiyanto dari Bagian Humas BNN, tim menelusuri dan mendatangi alamat tujuan paket di Denpasar. Tim menangkap penerima paket, MA (24) dan MHS (29), dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Dari kasus itu, kata Sumirat, bandara dicoba sebagai jalur penyelundupan narkotika. Dua bulan ini petugas Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar, berkali-kali menggagalkan penyelundupan narkotika. ”Caranya juga berbeda-beda,” katanya.
Kepala Subdirektorat Narkotika Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Tony Saputra menambahkan, tersangka pemilik dan pengguna sabu 0,8 gram, Ajun Komisaris Heru Budhi Sutrisno, diancam hukuman lima tahun penjara. Namun, untuk Inspektur Satu Rita, Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Imam Sugianto berharap hanya dijatuhi sanksi pelanggaran disiplin. Sebab, tak ada barang bukti kecuali hasil uji urine.
Heru, Kepala Polsek Cibarusah, Bekasi, ditangkap Jumat lalu di rumah dinasnya bersama barang bukti sabu. Saat telepon seluler tersangka diperiksa, nama Rita, perwira unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Metro Jakarta Selatan, muncul berulang kali. Rita juga diamankan.
Tekad nasional
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan, pemerintah tak mungkin memberantas peredaran gelap narkotika dan obat-obatan terlarang sendirian. Harus ada satu tekad bersama secara nasional untuk mengakhiri maraknya peredaran narkoba di Indonesia.
”Perlu ada satu tekad nasional. Jika bicara narkoba, saya batasi dulu di sektor saya sendiri,” ujarnya. (bil/win/fer)
Kompas.Com
MA Terbitkan Perma Batasan Tipiring
“Komisi III DPR menilai Laporan Tahunan MA 2011 kurang menjelaskan agenda reformasi peradilan yang dilakukan.”
Ketua MA Harifin A Tumpa sampaikan Laporan Tahunan MA Tahun 2011.
Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP. Intinya, Perma ini ditujukan untuk menyelesaikan penafsiran tentang nilai uang pada Tipiring dalam KUHP.
Informasi inilah salah satu yang terungkap dalam Laporan Tahunan MA Tahun 2011. Laporan tahunan disampaikan Ketua MA Harifin A Tumpa dalam sidang pleno tahunan di ruang Kusumah Atmadja gedung MA, Selasa (28/2). Acara yang diliput media massa ini dihadiri pimpinan pengadilan tingkat banding, hakim agung, serta sejumlah pimpinan lembaga negara.
Tipiring yang perlu mendapat perhatian meliputi Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP. Nilai denda yang tertera dalam pasal-pasal ini tidak pernah diubah negara dengan menaikkan nilai uang. “Menaikkannya sebanyak 10.000 ribu kali berdasarkan kenaikan harga emas,” kata Harifin.
Harifin berharap Perma ini dapat menjadi jembatan bagi para hakim sehingga mampu lebih cepat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat terutama bagi penyelesaian Tipiring sesuai dengan bobot tindak pidananya. “Perma ini juga ditujukan untuk menghindari masuknya perkara-perkara yang berpotensi mengganggu rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat dan secara tidak langsung akan membantu sistem peradilan pidana untuk kita bekerja lebih efektif dan efisien,” harapnya.
Tindak 130 aparat
Dalam kesempatan yang sama, Harifin menyampaikan aspek pengawasan peradilan. Selama tahun 2011 Badan Pengawas Mahkamah Agung telah menerima 3.232 pengaduan. Sebanyak 2.833 merupakan pengaduan langsung dari masyarakat, 285 dari institusi, dan 141 pengaduan disampaikan secara online.
Dari 3.232 pengaduan itu, hanya 130 aparat peradilan yang dihukum. Sebanyak 43 aparat peradilan dikenakan hukuman disiplin berat, 22 dijatuhi hukuman sedang, dan 62 dikenakan hukuman disiplin ringan. Selain itu dua orang dari peradilan militer dikenakan sanksi teguran, dan satu orang lagi dikenakan penahanan ringan.
“Dari total 130 aparatur peradilan yang dikenakan sanksi, mayoritas 38 persen adalah hakim. Disusul staf pengadilan sebesar 19,6 persen, dan panitera pengganti sebesar 11,8 persen,” kata Harifin.
Sedangkan, pelanggaran yang paling sering terjadi adalah pelanggaran disiplin sebanyak 53,85 persen, unprofessional conduct 20,77 persen, dan pelanggaran kode etik 13,85 persen.
Harifin menjelaskan selama 2011, MA dan Komisi Yudisial (KY) telah menggelar sidang Majelis Kehormatan Hakim sebanyak empat kali. “Dari MKH itu, satu orang hakim diberhentikan tidak hormat, satu orang hakim diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri, satu orang hakim dinonpalukan dan dimutasi, dan satu orang hakim diberi teguran tertulis,” ungkap Harifin yang akan mengakhiri masa jabatan pada 1 Maret 2012.
Menurut Harifin, secara umum capaian pelaksanaan fungsi utama memutus dan mengadili perkara sepanjang tahun 2011, MA terus menunjukkan peningkatan, terlepas dari turunnya jumlah perkara yang diputus secara keseluruhan. “Tingkat clearance rate (rata-rata penyelesaian perkara) yang berhasil dicatat sepanjang tahun 2011 mencapai 117,19 persen. Dari 12.990 perkara yang masuk, MA berhasil mengirim kembali 15.223 perkara (yang telah diputus, red) ke pengadilan pengaju. Catatan ini sangat baik, karena berarti tumpukan perkara di MA terus berkurang,” tegas Harifin.
Terkait dengan perkara yang menarik perhatian publik, khususnya perkara pidana khusus, dalam hal ini perkara tindak pidana korupsi, sepanjang tahun anggaran 2011, sekitar 1.705 perkara yang mayoritas (92,09%) dari jumlah tersebut berujung pada amar penghukuman terhadap terdakwa.
Sebanyak 527 kasus korupsi diputus dengan denda mencapai Rp 53,85 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 427,72 miliar. Sebanyak 560 kasus narkoba dengan denda Rp 374,80 miliar, sebanyak tujuh kasus pencucian uang dengan denda Rp 16,4 miliar, sebanyak 295 kasus perlindungan anak dengan denda Rp 12,511 miliar, serta sebanyak kasus 42 kasus kehutanan dengan denda Rp 3,77 miliar.
“Total denda denda dan uang pengganti yang diselematkan MA mencapai Rp 992,64 miliar,” ungkap Harifin.
Hal lain yang disampaikan dalam laporan tahun 2011 ini terkait capaian dalam program pembaruan peradilan, akses terhadap keadilan, pembinaan dan pengelolaan SDM, alokasi dan relokasi anggaran, material dan akses infrastruktur teknologi informasi, penelitian dan pengembangan pelatihan hukum, peran serta MA dalam forum internasional. Ada juga tentang pelaksanaan sistim kamar, keterbukaan informasi, pelayanan bantuan hukum di pengadilan.
Ketua Komisi III DPR menilai Laporan Tahunan MA 2011 masih kurang menjelaskan agenda reformasi peradilan yang dilakukan. Menurut Benny, apa saja yang sudah dilakukan, keberhasilan, kegagalan MA selama 2011 berikut persoalannya belum tergambar.
“Apa yang menjadi problem reformasi peradilan belum nampak dalam laporan, lebih banyak daftar perencanaan. Laporan Tahunan MA Tahun 2011 ini belum banyak hal yang baru. Ini masih jauh dari harapan publik,” kritik Benny.
Benny mencontohkan tunggakan perkara dalam laporan tidak dibarengi dengan paparan beban kerja kinerja setiap hakim agung per bulan atau per tahun. Akibatnya, publik tidak tahu berapa beban kerja hakim agung dalam menyelesaikan perkara setiap bulan atau per tahun guna mengukur capaian kinerja para hakim agung baru.
“Ini penting bagi dewan untuk mengetahui akar persoalan masalah peradilan (penumpukan perkara, red). Selain itu, pengajuan PK dua kali masih terjadi di MA dan putusan PK saling bertentangan. Ini tidak dijelaskan. Apa capaian pembaruan hukum luar biasa yang dicapai juga tidak dijelaskan. Makanya, kita berharap dengan ketua MA baru untuk bisa menangkap harapan publik,” ujar politisi Partai Demokrat ini.
Hukumonline.com
HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM
HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH;Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. Continue reading
Pengadilan Pidana Internasional
Pengadilan Pidana Internasional
Pengertian Pengadilan pidana internasional
Pengadilan pidana inernasional atau dalam bahasa Inggris di sebut internasional criminal court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional diantaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Sejarah Pembentukan ICC
Pada tahun 1948, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan internasional. Untuk menuntut kejahatan-kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok (genocide atau genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december 1948, majlis umum PBB menyatakan sebagai berikut : “recognizing that at all periods of history genocide has inflictad great losses on humanity, and being convinced that, in order to librate mankind from such an odius scourge, internasional cooperasion is requid”.
Setelah itu, suatu komite persiapan telah memulai kerjanya. Yang di mulai pada awal 1999. Untuk mempersiapkan usulan-usulan yang berkaitan dengan persiapan-persiapan praktis yang berkaitan dengan akan di mulai berlakunya statuta ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian mahkamah tersebut. Suatu komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan dengan unsur-unsur kejahatan, aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan pembuktian.
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya resolusi tersebut Pada bulan Juli 1998 di Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21abstein). Statuta Roma menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC telah dilakukan pada tanggal 11 April 2002 dan Statuta mulai dilaksanakan yuidiksinya pada tanggal 1Juli 2002. Pada bulan Pebruari 2003, 18 hakim ICC pertama kali diangkat dan Jaksa Penuntut pertama dipilih pada bulan April 2003.
Pengadilan Pidana Internasional
Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma
Mahkamah pidana internasional merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma.
Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah
termasuk :
· meningkatkan keadilan distributif;
· memfasilitasi aksi dari korban;
· pencatatan sejarah;
· pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional;
· memperkuat resistensi individual;
· pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
· mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.
Dalam kurun waktu 50 tahun negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa melihat adanya perkembangankebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc, dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-hoc tersebut adalah:
- Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945);
- Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);
- Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan
- Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) – 1998 dengan tempat kedudukan di Arusha.
Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut diatas (butir (3) dan (4)) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
- Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998.
- Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda
- telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkahlangkah
- konkrit dalam skema perlindungan HAM Universal.
- Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi;
- Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sudah sebagian besar disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan;
- Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatankejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.
Kelima Komisi Penyidik Internasional yang telah dibentuk adalah :
- Komisi yang bertanggung jawab atas bencana perang dan penjatuhan pidana, penyidikan selama Perang Dunia I (1919);
- Komisi Kejahatan Perang PBB (1943) yang menyidik penjahat perang Jerman selama Perang Dunia II;
- Komisi Timur Jauh (1946) yang menyidik penjahat perang Jepang selama Perang dunia II;
- Komisi Ahli yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 780, untuk menyidik pelanggaran atas Hukum Humaniternasional di bekas jajahan Yugoslavia;
- Komisi Ahli Independen yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 935, Komisi Rwanda untuk menyidik pelanggaran-pelanggaran selama perang sipil di Rwanda.
Pengadilan nasional akan selalu mempunyai yuridiksi atas sejumlah kejahatan. Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan.
Contoh:
Pemerintah mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga negaranya terlebih jika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut.
Pengadilan mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:
- Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
- Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
- Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut;
- Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
Yuridikasi dari mahkamah terbatas pada tindak pidana yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling serius, mahkamah memiliki yuridikasi terhadap tindak pidana sebagai berikut:
- Tindak pidana genosida
- Tindak pidana terhadap perang/kejahatan perang
- Tindak pidana terhadap kemanusiaan
- Agresi
Mahkamah memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada suatu saat ketentuan di sahka tentang definisi tindakann sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang definisi tindak pidana dan kondisi-kondisi di mana mahkamah dapat memberlakukan yuridikasi terhadap tindak pidana ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai dengan ketentuan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa
Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan. kemudian yang memutuskan kasus-kasus yang harus diputuskan Pengadilan yaitu:
- Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Pengadilan:
- Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut.
- Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
- Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hukum.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan
akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta.
ICC akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijinuntuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara. para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.
Meskipun anggara tahunan ICC mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena ICC bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka ICC jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut ICC, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai berikut:
Prinsip Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut:“An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, … shall be complementary to nationalcriminal jurisdiction.”
Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
- bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
- bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan ataustandards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
1. Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
- Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
- Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
- Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
- Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.
2. Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy) Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi : “No person shall be tried before another court for a crime referred to in article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court”
Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam Pasal 20 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut : “No person who has been tried by another Court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the Court:
- Were the purposes of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or
- Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in manner which, in circumstances, was inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 3 tersebut diatas ditegaskan, bahwa terhadap kejahatan-kejahatangenocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagimana telah diuraikan di atas, yaitu:
- Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana; dan
- Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengam norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersangkutan.
3) Prinsip “nullum crimen sine lege” Prinsip ini diatur dalam Pasal 22 yang sangat dikenal dengan asas legalitas merupakan tiang yang kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari Statuta Roma (1998) mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: “The definition of crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted”.
Dari ketentuan tersebut diatas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence) jika adakeragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta Roma ini, kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili.
Ketiga prinsip sebagaimana telah saya uraikan diatashanyalah sebagian saja dari seluruh prinsip-prinsip yang dimuat dalam Statuta Roma (1998) yang sangat penting dan dapat dikatakan merupakan prinsip-prinsip dasar Statuta tersebut. Bertitik tolak pada latar belakang, substansi dan muatan ketentuan dalam Statuta Roma (1998), maka Indonesia yang merupakan anggota PBB dan peserta aktif dalam Konfrensi Diplomatik yang membahas Statuta Roma tersebut sangatberkepentingan untuk terus menerus mengikuti dan memantau pembahasan-pembahasan dalam Sidang Persiapan Konfrensi Diplomatik di New York sejak bulan Maret 1999 sampai dengan bulan Desember2000 yang akan datang. Perkembangan situasi politik dan keamanan di wilayah Republik Indonesia sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai saat ini telah membuktikan berbagai tindakan-tindakan kekerasan oleh aparatur negara terhadap perorangan atau kelompok dalam masyarakat yang telah menimbulkan korban yang sangat banyak danmenyengsarakan. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadiselama kurun waktu kurang lebih 50 tahun Indonesia Merdeka telah menunjukan bahwa suatu proses peradilan atas pelaku penggaran HAM merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM selama Orde Baru dan peristiwa Timor Timur telah meningkatkan intensitas tekanan-tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di luar negeri terhadap pemerintah Indonesia untuk segera melakukan
langkah-langkah konkrit mencegah dan mengatasi pelanggaran HAM yang lebihluas lagi dan menimbulkan korban yang lebih besar.
Langkah-langkah pemerintah di bidang legislasi untuk menghadapi pelanggaran HAM sudah dimulai dengan upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM(a.l. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia dan PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM). Implikasi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Statuta Roma (1998) terhadap sistem peradilan pidana di Indonesiasangat mendasar karena beberapa sebab sebagai berikut :
- Pelanggaran HAM yang sangat berat (serious violation of human right) sudah merupakan dan dipandang oleh seluruh masyarakat internasional sebagai “serious crimes of international concern” sehingga pelanggaranHAM yang sangat berat bukan semata-mata masalah hukum nasional, melainkan merupakan masalah hukum internasional. Konsekuensi logis dari dasar pemikiran tersebut, maka peradilan atas pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata jurisdiksi pengadilan nasional melainkan juga merupakan jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
- Penggolongan atas pelanggaran HAM yang sangat berat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5, 6, 7, dam 8 Statuta Roma (1998) bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan suatu pengadilan terhadap kejahatan ini memerlukan pengaturan secara khusus dan berbeda dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan Undang-undang Pidana Khusus lainnya.
- Institusi yang relevan dan sesuai untuk memeriksa, dan menyidik pelanggaran HAM yang berat memerlukan prasarana dan sarana secara khusus yang memadai sehingga proses peradilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan secra “impartial”, “fair” dan “transparan” dengan mengacu kepada standar yang diakui berdasarkan Hukum Internasional.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat di-elakan. Perubahan mendasar tersebut adalah:
- Diperlukan pembentukan Pengadilan HAM Permanen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dan dalam sistem kekuasaan kehakiman sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undangundang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Diperlukan Hukum Acara Khusus, jika perlu ketentuanketentuan yang menyimpang dari asas-asas umum hukum acara pidana untuk peradilan pelanggaran HAM yang sangat berat.
- Diperlukan lembaga khusus yang diberi wewenang melakukan penyelidikan seperti Komnas HAM dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang sudah ada.
- Diperlukan penyidik khusus dan Jaksa Penuntut Umum Khusus serta Hakim Khusus seperti Penyidik Ad-hoc, Jaksa dan Hakim Ad-hoc.
- Diperlukan sistem pemidanaan tertentu yang berbeda dengan sistem pemidanaan yang berlaku umum, dimana memungkinkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah hukuman seumur hidup.
sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/25/pengadilan-pidana-internasional/
PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA
PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA
Pengertian Daerah Khusus
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah
- Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
- Provinsi Aceh;
- Provinsi Papua; dan
- Provinsi Papua Barat.
UU Khusus Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
- Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
- Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Daerah Istimewa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu juga ada Daerah Istimewa Surakarta
UU KhususDaerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.
- Di Daerah Istimewa Aceh (Provinsi Aceh) telah diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
- Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki UU yang mengatur ketentuan khusus sebagaimana dimaksud. Pengakuan KeistimewaanPengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Surakarta didasarkan pada hak asal-usul kedua wilayah sebagai penerus Kerajaan Mataram, peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, serta balas jasa Presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja tersebut yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Gubernur Daerah Istimewa Surakarta yang pertama adalah Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan wakil gubernur Sri Mangkunegara VIII, sedangkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan wakilnya adalah KGPAA Paku Alam VIII, masing-masing gubernur dan wakil gubernur memiliki masa jabatan seumur hidup. Namun karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di Daerah Istimewa Surakarta, maka semenjak 16 Juni 1946 DIS dihapuskan dan diganti dengan status Karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen.
sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/30/perbedaan-antara-daerah-khusus-dan-daerah-istimewa/