Monthly Archives: January 2012

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter

     Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Oleh :Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

 

SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

 SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

I. PENDAHULUAN

      Sungguh menarik tema utama diskusi Interaktif ini, yaitu: “Sistem Peradilan Indonesia Dalam Perpektif Hukum Responsif”. Penulis menggaris bawahi kata “Hukum Responsif” mengingatkan tulisan Philippe Nonet & Philip Selznick: “Law and Society in Transition”, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1978. Ketika Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998 , tulisan Nonet & Selznick ini mulai banyak diperhatikan oleh para ahli hokum. Kondisi politik Indonesia dipersamakan dengan masa transisi, yaitu dari masa hukum yang bersifat represif menuju kepada masa hukum yang bersifat responsif. Continue reading

Marzuki: Saya Memang Terlupakan oleh Sekjen, Tapi Saya Maafkan

Jakarta – Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengaku lalai tidak melaporkan proyek ruang Banggar senilai Rp 20 miliar kepada Ketua DPR Marzuki Alie. Bagaimana tanggapan Marzuki? Politisi Demokrat ini merasa terlupakan, meski memaafkan kesalahan Nining. “Untuk kasus ruang Banggar ini memang saya terlupakan diinfokan oleh Bu Sekjen. Bu Sekjen sudah ke rumah semalam dan sudah saya maafkan,” tutur Marzuki dalam jumpa pers di kantor KPK, Jl Rasuna Said, Jaksel, Jumat (20/1/2012). Continue reading

Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

       Dari sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi, hanya dua pasal yang mengatur tindak pidana korupsi (tipikor) yang merugikan keuangan negara, yaitu Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 dan perubahannya. Walaupun hanya dua pasal, pasal ini sangat favorit dipakai untuk menjerat para pelaku korupsi yang secara keseluruhan telah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.Ada beberapa pasal yang tidak mengaitkan korupsi dengan keuangan negara,misalnya pasal tentang penyuapan. Continue reading

HUKUM DAN POLITIK

HUKUM DAN POLITIK

     Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau inovation.sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsif). Continue reading

PENEGAKAN HUKUM

PENEGAKAN HUKUM

      Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Continue reading

Benarkah TNI dan Polri Bersih dari Korupsi? ?

Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), sejumlah masyarakat masih menganggap TNI dan Polri bersih dari korupsi. Jumlah suara untuk kedua lembaga itu pun cukup tinggi. Benarkah mereka bersih?

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai data survei itu tidak sepenuhnya salah. Selama ini, kata Febri, masyarakat memang tidak diberi informasi yang cukup soal fenomena kasus di TNI dan Polri.

“Info dari masyarakat menurutku datang dari berbagai sumber. Tapi yang pasti sumber-sumber info tersebut agaknya jarang bicara tentang TNI,” kata Febri saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/1/2012). Continue reading

Bocah 12 Tahun Jadi Tersangka Kasus Perkelahian

MEDAN (BeritaHUKUM.com) – Nasib tragis menimpa bocah berusia 12 tahun bernama Fahmi. Siswa kelas dua Madrasah Tsanawiyah Al-Ulum Medan, Sumatera Utara (Sumut), berkelahi dengan Rinto (12), anak oknum perwira polisi yang bertugas di Polres Belawan. Ia pun telah ditetapkan sebagai tersangka yang kasusnya masih diproses Polsek Patumbak, Medan.

Meski tidak ditahan, Fahmi dikenakan wajib lapor dua minggu sekali. Penangguhan penahanan ini atas jaminan orang tua tersangka, Alinur, yang menjamin bahwa putranya takkan melarikan diri. “Padahal yang dipukuli itu anak saya (Fahmi), bukannya Rinto. Tapi malah Fahmi yang dijadikan tersangka. Apakah karena kami ini orang susah, sedangkan orang tua Rinto seorang perwira polisi,” kata Ali Noor kepada wartawan di Medan, Jumat (6/1). Continue reading

Wewenang Polisi Dipereteli

 

Penanganan keamanan nasional yang sejak masa reformasi ditangani Kepolisian Negara Republik Indonesia akan ditangani Dewan Keamanan Nasional. Itu terjadi jika substansi dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang masih berada di Sekretariat Negara disetujui parlemen.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, di Jakarta, Minggu (8/1), mengakui, dari sisi Polri, RUU Keamanan Nasional terasa memereteli kewenangan dalam menentukan keamanan nasional. Namun, sebenarnya RUU itu justru menempatkan kewenangan kepolisian dalam hal keamanan nasional secara proporsional. Continue reading

Pecat Petugas yang Terlibat Sindikat Narkoba

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Taswem Tarib menegaskan, pihaknya tak akan segan-segan menindak tegas petugas yang terbukti terlibat dalam peredaran narkotika di dalam lapas (lembaga pemasyarakatan).

Hal tersebut dikatakannya seusai menyerahkan barang bukti sabu seberat 3,2 gram yang ditemukan di kamar tahanan Lapas Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (6/1/2012). “Kalau ada petugas yang terlibat, sanksinya satu, berhenti dari PNS,” ungkapnya. Continue reading