Category Archives: Artikel Hukum

HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

HUKUM JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM

Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH;Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.

Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. Continue reading

Pengadilan Pidana Internasional

Pengadilan Pidana Internasional

Pengertian Pengadilan pidana internasional
Pengadilan pidana inernasional atau dalam bahasa Inggris di sebut internasional criminal court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional diantaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.

Sejarah Pembentukan ICC
Pada tahun 1948, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan internasional. Untuk menuntut kejahatan-kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok (genocide atau genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december 1948, majlis umum PBB menyatakan sebagai berikut : “recognizing that at all periods of history genocide has inflictad great losses on humanity, and being convinced that, in order to librate mankind from such an odius scourge, internasional cooperasion is requid”.
Setelah itu, suatu komite persiapan telah memulai kerjanya. Yang di mulai pada awal 1999. Untuk mempersiapkan usulan-usulan yang berkaitan dengan persiapan-persiapan praktis yang berkaitan dengan akan di mulai berlakunya statuta ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian mahkamah tersebut. Suatu komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan dengan unsur-unsur kejahatan, aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan pembuktian.
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya resolusi tersebut Pada bulan Juli 1998 di Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21abstein). Statuta Roma menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC telah dilakukan pada tanggal 11 April 2002 dan Statuta mulai dilaksanakan yuidiksinya pada tanggal 1Juli 2002. Pada bulan Pebruari 2003, 18 hakim ICC pertama kali diangkat dan Jaksa Penuntut pertama dipilih pada bulan April 2003.

Pengadilan Pidana Internasional

Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma
Mahkamah pidana internasional merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma.
Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah
termasuk :
· meningkatkan keadilan distributif;
· memfasilitasi aksi dari korban;
· pencatatan sejarah;
· pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional;
· memperkuat resistensi individual;
· pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
· mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.
Dalam kurun waktu 50 tahun negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa melihat adanya perkembangankebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc, dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-hoc tersebut adalah:

  1. Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945);
  2. Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);
  3. Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan
  4. Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) – 1998 dengan tempat kedudukan di Arusha.

Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut diatas (butir (3) dan (4)) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  • Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998.
  • Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda
  • telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkahlangkah
  • konkrit dalam skema perlindungan HAM Universal.
  • Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi;
  • Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sudah sebagian besar disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan;
  • Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatankejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.

Kelima Komisi Penyidik Internasional yang telah dibentuk adalah :

  1. Komisi yang bertanggung jawab atas bencana perang dan penjatuhan pidana, penyidikan selama Perang Dunia I (1919);
  2. Komisi Kejahatan Perang PBB (1943) yang menyidik penjahat perang Jerman selama Perang Dunia II;
  3. Komisi Timur Jauh (1946) yang menyidik penjahat perang Jepang selama Perang dunia II;
  4. Komisi Ahli yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 780, untuk menyidik pelanggaran atas Hukum Humaniternasional di bekas jajahan Yugoslavia;
  5. Komisi Ahli Independen yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 935, Komisi Rwanda untuk menyidik pelanggaran-pelanggaran selama perang sipil di Rwanda.

Pengadilan nasional akan selalu mempunyai yuridiksi atas sejumlah kejahatan. Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan.
Contoh:
Pemerintah mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga negaranya terlebih jika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut.
Pengadilan mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:

  • Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
  • Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
  • Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut;
  • Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.

Yuridikasi dari mahkamah terbatas pada tindak pidana yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling serius, mahkamah memiliki yuridikasi terhadap tindak pidana sebagai berikut:

  1. Tindak pidana genosida
  2. Tindak pidana terhadap perang/kejahatan perang
  3. Tindak pidana terhadap kemanusiaan
  4. Agresi

Mahkamah memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada suatu saat ketentuan di sahka tentang definisi tindakann sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang definisi tindak pidana dan kondisi-kondisi di mana mahkamah dapat memberlakukan yuridikasi terhadap tindak pidana ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai dengan ketentuan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa
Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan. kemudian yang memutuskan kasus-kasus yang harus diputuskan Pengadilan yaitu:

  • Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Pengadilan:
  • Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut.
  • Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
  • Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.

Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hukum.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan. Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan
akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta.
ICC akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijinuntuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara. para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.
Meskipun anggara tahunan ICC mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena ICC bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka ICC jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut ICC, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.
Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai berikut:
Prinsip Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut:“An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, … shall be complementary to nationalcriminal jurisdiction.”
Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:

  • bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
  • bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan ataustandards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :

1. Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :

  • Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
  • Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
  • Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
  • Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

2. Prinsip “ne bis in idem” (double jeopardy) Prinsip ini diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Statuta Roma (1998) yang berbunyi : “No person shall be tried before another court for a crime referred to in article 5 for which that person has already been convicted or acquitted by the Court”
Terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 angka 2 diatas, terdapat kekecualian dalam Pasal 20 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut : “No person who has been tried by another Court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the Court:

  • Were the purposes of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the court; or
  • Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in manner which, in circumstances, was inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice.

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 3 tersebut diatas ditegaskan, bahwa terhadap kejahatan-kejahatangenocide, crime against humanity and war crimes sebagaimana tercantum dalam Pasal 6, 7, dan 8, prinsip ne bis in idem dapat dikesampingkan hanya dalam 2 (dua) keadaan sebagimana telah diuraikan di atas, yaitu:

  1. Pengadilan nasional dilaksanakan untuk melindungi seseorang/kelompok orang dari pertanggungjawaban pidana; dan
  2. Pengadilan nasional tidak dilaksanakan secara bebas dan mandiri sesuai dengam norma-norma “due process” yang diakui Hukum Internasional dan tidak sejalan dengan tujuan membawa keadilan bagi orang/kelompok orang yang bersangkutan.

3) Prinsip “nullum crimen sine lege” Prinsip ini diatur dalam Pasal 22 yang sangat dikenal dengan asas legalitas merupakan tiang yang kokoh dan memperkuat supremasi hukum. Yang sangat penting dari Statuta Roma (1998) mengenai asas ini adalah bagi Pasal 22 ayat 2 yang berbunyi: “The definition of crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investigated, prosecuted or convicted”.
Dari ketentuan tersebut diatas jelas bahwa sejalan dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence) jika adakeragu-raguan mengenai materi muatan dalam Statuta Roma ini, kepada seseorang yang sedang disidik, dituntut, atau diadili.
Ketiga prinsip sebagaimana telah saya uraikan diatashanyalah sebagian saja dari seluruh prinsip-prinsip yang dimuat dalam Statuta Roma (1998) yang sangat penting dan dapat dikatakan merupakan prinsip-prinsip dasar Statuta tersebut. Bertitik tolak pada latar belakang, substansi dan muatan ketentuan dalam Statuta Roma (1998), maka Indonesia yang merupakan anggota PBB dan peserta aktif dalam Konfrensi Diplomatik yang membahas Statuta Roma tersebut sangatberkepentingan untuk terus menerus mengikuti dan memantau pembahasan-pembahasan dalam Sidang Persiapan Konfrensi Diplomatik di New York sejak bulan Maret 1999 sampai dengan bulan Desember2000 yang akan datang. Perkembangan situasi politik dan keamanan di wilayah Republik Indonesia sejak masa pemerintahan Orde Baru sampai saat ini telah membuktikan berbagai tindakan-tindakan kekerasan oleh aparatur negara terhadap perorangan atau kelompok dalam masyarakat yang telah menimbulkan korban yang sangat banyak danmenyengsarakan. Pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadiselama kurun waktu kurang lebih 50 tahun Indonesia Merdeka telah menunjukan bahwa suatu proses peradilan atas pelaku penggaran HAM merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM selama Orde Baru dan peristiwa Timor Timur telah meningkatkan intensitas tekanan-tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di luar negeri terhadap pemerintah Indonesia untuk segera melakukan
langkah-langkah konkrit mencegah dan mengatasi pelanggaran HAM yang lebihluas lagi dan menimbulkan korban yang lebih besar.
Langkah-langkah pemerintah di bidang legislasi untuk menghadapi pelanggaran HAM sudah dimulai dengan upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM(a.l. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), kemudian dilanjutkan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM (Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakAsasi Manusia dan PERPU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM). Implikasi pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam Statuta Roma (1998) terhadap sistem peradilan pidana di Indonesiasangat mendasar karena beberapa sebab sebagai berikut :

  1. Pelanggaran HAM yang sangat berat (serious violation of human right) sudah merupakan dan dipandang oleh seluruh masyarakat internasional sebagai “serious crimes of international concern” sehingga pelanggaranHAM yang sangat berat bukan semata-mata masalah hukum nasional, melainkan merupakan masalah hukum internasional. Konsekuensi logis dari dasar pemikiran tersebut, maka peradilan atas pelanggaran HAM yang sangat berat bukan semata-mata jurisdiksi pengadilan nasional melainkan juga merupakan jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
  2. Penggolongan atas pelanggaran HAM yang sangat berat sebagaimana dimuat dalam Pasal 5, 6, 7, dam 8 Statuta Roma (1998) bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan suatu pengadilan terhadap kejahatan ini memerlukan pengaturan secara khusus dan berbeda dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP dan Undang-undang Pidana Khusus lainnya.
  3. Institusi yang relevan dan sesuai untuk memeriksa, dan menyidik pelanggaran HAM yang berat memerlukan prasarana dan sarana secara khusus yang memadai sehingga proses peradilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dapat dilaksanakan secra “impartial”, “fair” dan “transparan” dengan mengacu kepada standar yang diakui berdasarkan Hukum Internasional.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka perubahan mendasar dalam sistem peradilan pidana Indonesia tidak dapat di-elakan. Perubahan mendasar tersebut adalah:

  1. Diperlukan pembentukan Pengadilan HAM Permanen sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dan dalam sistem kekuasaan kehakiman sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undangundang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
  2. Diperlukan Hukum Acara Khusus, jika perlu ketentuanketentuan yang menyimpang dari asas-asas umum hukum acara pidana untuk peradilan pelanggaran HAM yang sangat berat.
  3. Diperlukan lembaga khusus yang diberi wewenang melakukan penyelidikan seperti Komnas HAM dan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang sudah ada.
  4. Diperlukan penyidik khusus dan Jaksa Penuntut Umum Khusus serta Hakim Khusus seperti Penyidik Ad-hoc, Jaksa dan Hakim Ad-hoc.
  5. Diperlukan sistem pemidanaan tertentu yang berbeda dengan sistem pemidanaan yang berlaku umum, dimana memungkinkan ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah hukuman seumur hidup.

sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/25/pengadilan-pidana-internasional/

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

Pengertian Daerah Khusus
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah

  1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Provinsi Aceh;
  3. Provinsi Papua; dan
  4. Provinsi Papua Barat.

UU Khusus Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.

  1. Bagi Provinsi DKI Jakarta diberlakukan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Bagi Provinsi NAD diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
  3. Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diberlakukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Daerah Istimewa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dulu juga ada Daerah Istimewa Surakarta
UU KhususDaerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain.

  1. Di Daerah Istimewa Aceh (Provinsi Aceh) telah diberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
  2. Daerah Istimewa Yogyakarta belum memiliki UU yang mengatur ketentuan khusus sebagaimana dimaksud. Pengakuan KeistimewaanPengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh didasarkan pada perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Daerah Istimewa Surakarta didasarkan pada hak asal-usul kedua wilayah sebagai penerus Kerajaan Mataram, peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, serta balas jasa Presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja tersebut yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Gubernur Daerah Istimewa Surakarta yang pertama adalah Sri Susuhunan Pakubuwana XII dan wakil gubernur Sri Mangkunegara VIII, sedangkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan wakilnya adalah KGPAA Paku Alam VIII, masing-masing gubernur dan wakil gubernur memiliki masa jabatan seumur hidup. Namun karena terjadi revolusi sosial yang didalangi oleh Tan Malaka untuk menentang berkuasanya kekuatan aristokrasi dan feodalisme di Daerah Istimewa Surakarta, maka semenjak 16 Juni 1946 DIS dihapuskan dan diganti dengan status Karesidenan yang dipimpin oleh seorang residen.

sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/30/perbedaan-antara-daerah-khusus-dan-daerah-istimewa/

Arbitrase

Arbitrase
Arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti: perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan, secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut arbiter. Continue reading

Definisi Ilmu Politik

Definisi Ilmu Politik

Ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita mengenal sebuah pepatah “gemah ripah loh jinawi”. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik dalam suatu negara (state) berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy) dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Pemikiran politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno abad ke-5 SM, seperti Plato dan Aristoteles menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik yang terbaik.

Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Penafsiran Undang-undang secara Analogi

Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang. Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.

Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari pada perbuatannya itu sendiri.” Continue reading

PERBEDAAN HAM DIBAWAH UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, DAN UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN

PERBEDAAN HAM DIBAWAH UUD 1945 SEBELUM AMANDEMEN, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, DAN UUD 1945 SETELAH AMANDEMEN

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

Rujukan Dasar

Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998.Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Konstitusionalisme Indonesia

Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”,namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares

Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Kesimpulan

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.

Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.

Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun. sumber http://sesukakita.wordpress.com/2012/01/31/perbedaan-ham-dibawah-uud-1945-sebelum-amandemen-konstitusi-ris-1949-uuds-1950-dan-uud-1945-setelah-amandemen/

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

PERBEDAAN ANTARA DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA

Pengertian Daerah Khusus

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah yang diberikan otonomi khusus ini adalah

  1. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
  2. Provinsi Aceh;
  3. Provinsi Papua; dan
  4. Provinsi Papua Barat.

UU Khusus Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Continue reading

Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter

     Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.

Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.

Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman Indonesia

Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.

Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah

Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?

Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.

Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Oleh :Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

 

SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

 SINERGI FUNGSI DAN PERAN ADVOKAT DIKAITKAN DENGAN UU NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM (SISTEM PERADILAN DALAM TATARAN PRAKTIS)

I. PENDAHULUAN

      Sungguh menarik tema utama diskusi Interaktif ini, yaitu: “Sistem Peradilan Indonesia Dalam Perpektif Hukum Responsif”. Penulis menggaris bawahi kata “Hukum Responsif” mengingatkan tulisan Philippe Nonet & Philip Selznick: “Law and Society in Transition”, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1978. Ketika Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998 , tulisan Nonet & Selznick ini mulai banyak diperhatikan oleh para ahli hokum. Kondisi politik Indonesia dipersamakan dengan masa transisi, yaitu dari masa hukum yang bersifat represif menuju kepada masa hukum yang bersifat responsif. Continue reading