TARIK ULUR MAKANAN

TARIK ULUR MAKANAN

 

     Publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan media tentang penarikan produk Indomie di Taiwan dengan alasan mengandung mengandung methyl p-hydroxybenzoate dan asam benzoat. Konsumen Indonesia sempat resah dan bertanya-tanya.Jika Indomie tidak memenuhi standar di Taiwan bagaimana dengan di Indonesia?

     Fenomena serupa sebenarnya bukan hal baru tak terkecuali di Indonesia. Dua tahun yang lalu pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menarik 28 produk susu atau berbahan susu dari China yang mengandung melamin.

Suatu produk (barang) baik itu makanan , obat-obatan, elektronik  maupun yang lainnya yang tidak tidak sesuai standar peraturan perundang-undangan, rusak, cacat, bekas, tercemar, berisi informasi yang tidak sama dengan barangnya, dilarang untuk diproduksi. Khusus untuk sediaan farmasi dan bahan pangan, jika mengalami kerusakan, cacat, bekas atau tercemar maka dilarang diperdagangkan dan harus ditarik berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang –undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

     Larangan ini dimaksudkan sebagai upaya melindungi konsumen agar poduk yang beredar di masyarakat layak, asal usulnya jelas, kualitasnya sesuai dengan informasi dalam label, etiket, maupun informasi lain yang diberikan pelaku usaha. Perlindungan itu tertuju untuk keselamatan dan kesehatan konsumen serta keuangan yang harus dikeluarkan untuk membayar harga barang.

     Penarikan makanan yang tidak layak dan standar menimbulkan pertanyaan mendasar.  Mengapa makanan yang tidak layak masih tetap beredar (diistilahkan penulis diulur) ke masyarakat? Ketentuan Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan jelas-jelas melarang masyarakat memproduksi dan mengedarkan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi. Selain itu makanan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; mengandung bahan yang dilarang dalam proses produksi; kotor, busuk, tengik, terurai serta kedaluarsa dilarang untuk diedarkan.

     Bagi makanan impor, dilarang untuk dimasukkan dan  diedarkan di wilayah Indonesia jika tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Importir harus bertanggungjawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan.  Tanda lulus uji kelayakan dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi makanan harus di peroleh dari instansi berwenang di negara asal. Selanjutnya pengujian dilakukan di Indonesia sebelum makanan diedarkan ke pasar.

    Mestinya, penarikan tidak perlu dilakukan jika serangkaian tindakan antisipatif telah dilakukan sebelum makanan beredar di masyarakat. Mata rantai makanan sampai ke tangan konsumen melibatkan sejumlah pelaku usaha yang  berawal dari produsen, pedagang besar dan atau importir, sampai ke pedagang kecil atau ritel tempat konsumen bertransaksi secara langsung. Diantara mereka turut pula pengusaha periklanan yang membantu produsen untuk memperkenalkan produk dan  meraih simpati konsumen sebanyak mungkin

     Dalam aktivitas pasar, pemerintah sebagai regulator sekaligus pengawas berwenang mengendalikan agar proses pengamanan makan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Kerjasama harmonis antara pihak-pihak terkait dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kesehatan, Ditjen Bea Cukai, Kepolisian, serta Badan POM harus seiring sejalan mengawal kesehatan dan keselamatan konsumen.

     Meski serangkaian aturan telah ditetapkan dan diberlakukan, pemerintah melalui beberapa lembaga telah melakukan pengawasan, faktanya makanan tidak laik konsumsi masih beredar di ruang publik. Pelaku usaha sebenarnya mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak dibenarkan oleh hukum dan akan menerima sanksi. Namun, selama sanksi masih dianggap ringan, konsumen masih dapat dikelabuhi, mereka tidak akan berhenti berspekulasi menembus pasar. Jika di kemudian hari ada pihak yang menemukan ketidaklayakan produk mereka, pelaku usaha baru menarik dari peredaran. Inilah yang disebut pola spekulasi.

     Pola ini didasari motif ekonomi meraih keuntungan sebanyak mungkin dengan pengorbanan minimal. Serangkain standar yang ditetapkan pemerintah berkonsekuensi pada perhitungan ongkos produksi. Pengujian dan penjaminan mutu makanan membutuhkan biaya yang mengurangi laba pelaku usaha. Pola spekulasi ini sangat tidak manusiawi jika kemudian efek negatif dari produk yang tidak layak berakitbat terhadap ancaman keselamatan dan kesehatan konsumen.

oleh Norma Sari, S.H.,M.Hum

Dosen fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan