Naik Kereta Api

Naik Kereta Api

     Lagu Naik Kereta Api yang akrab di telinga kita semasa kecil mengilustrasikan perjalanan dengan kereta api adalah hal yang menyenangkan. Meski lagu itu sekarang tidak lagi relevan menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat, menarik untuk kita jadikan titik awal  menganalisa masalah hukum.

     Kondisi ideal negara hukum sangat identik dengan ketertiban dan kesejahteraan. Lebih sempit dalam lalu lintas transportasi publik, diukur dengan keselamatan, kenyamanan, dan pemenuhan hak-hak penumpang. Bagaimana naik kereta api  menjadi menyenangkan jika keselamatan penumpang justru terancam? Adakah berkereta api secara cuma-cuma, sedangkan konsumen yang telah  membayar relatif mahal pelayanan yang diberikan masih belum optimal?  Ditambah lagi fenomena melambungnya harga tiket oleh permainan calo sampai saat ini masih terjadi.

     Patut kita apresiasi bahwa PT Kereta Api Indonesia Persero (PT KAI) menjelang Idul Fitri 2010 melakukan terobosan  melalui penyediaan gerbong khusus lansia dan ibu menyusui. Ide cemerlang ini seharusnya semakin berkembang dengan inovasi dan kreasi lain untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan jasa layanan transportasi bagi masyarakat. Sangat disayangkan nilai rapor PT KAI kembali harus turun dengan tragedi kecelakaan beruntun di Stasiun Petarukan serta serempetan di Stasiun Purwosari  awal Oktober  yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia,  luka-luka, serta kerugian material dan immaterial lainnya.

     PT KAI Persero sebagai satu-satunya perusahaan publik (pelaku usaha) yang menangani jasa transportasi perkeretaapian di Indonesia memiliki kewajiban pengelolaan professional dengan memberikan pelayanan seoptimal mungkin terhadap konsumen. Servis terbaik ini diimplementasikan dalam perspektif hukum dengan memberikan beberapa hak-hak dasar konsumen seperti yang diamanatkan Pasal  4 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

     Pertama, hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Keselamatan penumpang harus menjadi faktor kunci penyelenggaraan jasa kereta api. Karena siapapun konsumennya, baik kelas eksekutif, bisnis atau kelas ekonomi sekalipun tidak ingin  keselamatannya diabaikan. Keselamatan dapat dirinci lebih lanjut berupa keselamatan jiwa dari kecelakaan juga selamat dari pelecehan seksual yang mungkin terjadi selama perjalanan. Hak keamanan  lebih banyak menunjuk pada barang-barang bawaan. Sedangkan kenyamanan dapat berupa bagaimana pelayanan yang diterima sepanjang perjalanan, kenyamanan dari pedagang dan pengamen yang berjualan di dalam gerbong, sampai pada fasilitas kamar kecil.

    Kedua, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya. Selama ini konsumen masih jarang menyampaikan pendapat dan keluhannya atas pelayanan kereta. Salah satu faktornya karena pembenahan juga tidak kunjung dilakukan, apalagi penumpang kelas ekonomi yang merasa membayar harga tiket relatif murah. Seburuk apapun pelayanan, konsumen kelas ini dihadapkan pada ketidakberdayaan memilih kelas moda transportasi yang terjangkau bagi mereka.

      Ketiga, hak untuk pendapatkan advokasi (pembelaan), perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Penumpang berhak atas pembelaan jika mengalami hal-hal yang merugikan karena hak-haknya dijamin oleh hukum.

     Keempat, konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian jika jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Dalam kasus kecelakaan kereta, penumpang berhak mendapatkan ganti rugi berupa santunan, dan biaya berobat serta biaya-biaya lain yang dikeluarkan.

Jaminan perlindungan konsumen atas hak-hak mereka dalam UUPK tentu sangat bergantung bagaimana PT KAI mengimplementasikan di lapangan dengan menggandeng seluruh stake holder terkait. Pilihan PT KAI menjadi badan hukum persero seharusnya menerapkan manajemen seimbang.  Tidak mengedepankan tujuan keuntungan semata, namun berbasis keselamatan dan kepuasan penumpang. Harapannya semakin banyak pula konsumen yang memilih moda transpotasi ini karena naik kereta api identik dengan “gembira”. Semoga!

oleh Norma Sari Wardana. S.H., M.Hum
Dosen Hukum Perlindungan Konsumen
Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan