Diskusi Publik “Menuntut Independensi dan Profesionalisme Aparat dalam Penegakan Hukum”

Diskusi Publik “Menuntut Independensi dan Profesionalisme Aparat dalam Penegakan Hukum”

    Pada hari Kamis tanggal 2 September 2010 bertempat di Hall Kampus II Universitas Ahmad Dahlan Jalan Pramuka Nomor 42 Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Ahmad Dahlan (PKBH UAD) mengadakan diskusi publik dengan tema ” Menuntut Independensi dan Profesionalisme Aparat dalam Penegakan Hukum “. Acara yang dimulai pada Pukul 10.00 WIB ini merupakan wujud solidaritas terhadap kasus dugaan pemukulan mahasiswa oleh oknum Polres Bantul. Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut Suparman Marzuki (PUSHAM UII), Heniy Astiyanto (PKBH UAD), dan Aknandari Malisy (JPW). Dekan Fakultas Hukum UAD Hj. Megawati menyambut baik acara ini serta mengecam keras tindakan yang dilakukan oleh oknum aparat tersebut. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan testimoni oleh korban pemukulan oknum apararat Mas Hono Rio Kertanengara yang menyampaikan bahwa ketika itu korban sedang mengendarai sepeda motornya di Jalan Wonosari Km 12,5, polisi yang mengendarai sepeda motor sembari menggunakan telepon genggam itu bergerak menyerong, hendak menyeberang, dan menghalangi jalan saya. Setelah memantapkan posisi kendaraan, saya tegur kelalaiannya secara baik-baik, tapi tidak ditanggapi. Tak digubris, saya laporkan ke komandannya yang berada di pos. Sayangnya, juga tak ditanggapi dengan baik. Malahan saya dipukul dari belakang oleh salah seorang anggota polisi, yang disusul oleh anggota polisi lain. Saya dibebaskan setelah diinterogasi di ruang tertutup,” tutur mahasiswa Fakultas Hukum UAD 2009 ini.

    Suparman Marzuki mengemukakan persepsinya tentang polisi. “Dalam satu negara modern, polisi itu conditio sine qua non, mutlak harus ada, dan tak mungkin ada suatu negara tanpa polisi. Tapi dalam prakteknya kita dihadapkan pada kesulitan proses polisi menjadi kekuatan rakyat (protogonis),” keluhnya. “Yang terjadi adalah seperti dalam negara otoritarian: polisi adalah institusi antagonistik. Polisi tidak menjadi kekuatan masyarakat, malah berhadap-hadapan dengan rakyat,” tambah Direktur PUSHAM UII ini.

    Diskusi semakin menarik ketika Sahlan Said, seorang mantan hakim, menuturkan ada hal yang ganjil dalam kasus ini. “Kasus ini kalau diceritakan sebenarnya kasus pengeroyokan. Menurut Pasal 170 KUHP, unsurnya adalah: ditempat umum, lebih dari satu orang, dan termasuk penganiayaan. Ancaman hukumannya empat tahun lebih,” paparnya. Ia kemudian menuturkan anomali yang biasa terjadi pada kasus seperti Rio. “Tapi bila polisi  yang didakwa memiliki intrik dengan jaksa dan hakim, kasusnya akan direkayasa. Dakwannya bukan Pasal 170 KUHP tapi dikenakan pasal penganiayaan—yang memiliki ancaman hukuman tak sampai satu tahun. Itulah kalau polisi pandai, jaksa pandai, hakim pandai, tetapi tidak bertanggungjawab, kepandaiannya dipakai untuk minteri orang,” tandasnya.

    Heniy Astiyanto, selaku kuasa hukum Rio mengungkapkan bahwa  “Ada penggiringan kasus dari pengeroyokan ke penganiayaan, jelas Heniy. Ia menambahkan bahwa pihaknya telah dilemahkan sejak awal. ”Sejak awal kami digembosi Dandim (Komandan Komando Distrik Militer) melalui media. Dandim membuat wacana di media bahwa kasus sudah didamaikan, yang didamaikan bukan korbannya melainkan orang tua Rio, karena bapaknya adalah bawahan sang Dandim. Bapaknya ditekan supaya damai hingga membuat statement di media bahwa kasus berakhir damai,” jelas Direktur Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum UAD ini.

    Akhirnya semua sepakat bahwa kasus ini harus diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Polisi harus berani membersihkan instistusinya dari sebagian kecil oknum polisi yang melakukan tindak pidana dan membuat citra polisi di mata masyarakat menjadi buruk.