DEMOKRASI VS KEDAULATAN TUHAN

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang Masalah

    Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran tentang  tatanan sosio–politik yang ideal. Bahkan pertama kali dalam sejarah, Demokrasi diyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial. Kedudukan yang sentral dari demokrasi ini telah meluluhlantakan teori-teori lainya mengenai tatanan kekuasaan yang baik.

    Kepercayaan yang sangat kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara filosofis, sosiologis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi dengan konsep-konsep lain seperti Human Rights (Hak Asasi Manusia), civil society (masyarakat sipil), maupun  good governance (pemerintahan yang baik) yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.

     Demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima dalam ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non Barat semenjak awal abad  ke 20. Banyak wilayah jajahan Barat di Asia dan Afrika mulai bergerak mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melaui pendidikan Barat, para pemuka masyarakat wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di zaman Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.

    Gambaran ini tidak hanya terjadi dalam sejarah kebangkitan Nasional Indonesia. Hampir seluruh dunia, gerakan demokratisasi politik telah menjadi fenomena yang tak terelakan dalam mengubah persepsi sejarah tentang bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional dan bertanggungjawab. Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasan-kekuasan yang lebih perkasa, seperti kekuasaan negara dan pemerintah.

    Demokrasi sabagai tatanan politik memiliki sejarah yang amat panjang. Keberadaan ide demokrasi telah berlangsung sejak 508 tahun sebelum Masehi dan hingga kini masih diyakini terus akan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Survei tentang  demokrasi meliputi kawasan diseluruh dunia, model-model demokrasi telah dibukukan serta pola-pola yang memungkinkan sebagai etika politik modern ini masih terus mengalami perkembangan serius dalam penafsiran dan implementasi dari prinsip-prinsip dasarnya.

     Untuk memahami dan menemukan prinsip-prinsip eksistensial dari demokrasi itu kiranya perlu diuraikan perihal konsep kekuasaan yang dimanifestasikan dalam teori-teori kedaulatan yang telah berkembang sepanjang sejarah. Sebab bagaimanapun juga perihal demokrasi adalah perihal penyelenggara kekuasaan dalam sejarah kehidupan politik manusia.

      Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan tertinggi pada suatu negara telah ada sejak masyarakat mengenal negara dalam bentuk klasik dan berlaku terhadap seluruh wilayah dan segenap rakyat dalam kekuasaan negara tersebut. Kedaulatan sebagai ekspresi yuridis dari kekuasaan tertinggi menjadi kerangka tempat ide demokrasi dapat ditemukan dalam kekuasaan tertinggi ditangan rakyat.

    Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, atau masyarakat maupun atas diri sendiri. Di dalam Kedaulatan terdapat penganut dua teori, yaitu berdsarkan pemberian dari Tuhan dan Masyarakat.

  1. B.     Rumusan Masalah

            Dalam uraian diatas dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan menjadi pokok kajian makalah ini. Untuk itulah makalah ini di batasi dengan jawaban – jawaban atas pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut :

  1. Bagaimana sebenarnya teori Kedaulatan dan demokrasi itu diyatakan ?
  2. Apakah Pengertian seutuhnya dari  Kedaulatan, khususnya Kedaulatan Tuhan dan demokrasi?
  1. C.    Batasan Masalah

            Karena banyaknya permasalahan-permasalahan yang timbul, maka makalah ini menggunakan perpektif yang berbeda karena fokus yang dicari bukanlah bagaimana sejarah demokrasi, atau bagaimana konsep demokrasi yang ada di Indonesia ataupun di Negara-negara lain. Makalah ini juga tidak membahas secara mendalam tentang Kedaulatan maupun bentuk kedaulatan  diberbagai Negara-negara. Tetapi makalah ini hanya ingin mengetengahkan bagaimana konstruksi Teori-teori Kedaulatan, khususnya kedaulatan Tuhan maupun teori demokrasi serta pengertian demokrasi yang etis dalam arti yang seutuhnya dapat dipahami.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Teori Kedaulatan

            Pembahasan mengenai kekuasaan suatu negara akan menyentuh apa yang disebut sebagai kedaulatan. Jika kekuasaan dikonstrusikan dalam kerangka yurridis, maka kekuasaan disebut sebagai kedaulatan. Jadi dengan kata lain kedaulatan itu adalah kekuasaan dalam persepektif yuridis. Oleh sebab itu ketika kita berbicara kedaulatan, sebenarnya kita akan berbicara tentang dalam ruang lingkup yuridis. Namun demikian, hal ini bukan berarti menafikan hal yang bersifat politis, sebab apa yang dituangkan dalam kerangka yuridis seyatanya muncul suatu kompromi atau putusan politis atas kondisi sosiologis tertentu.

        Orang yang pertama kali membahas masalah kedaulatan adalah Jean Bodin (1530-1596), kemudian beliau disebut sebagai Bapak teori  kedaulatan dalam kajian ilmu negara. Jean Bodin mengartikan kedaulatan sebagai “wewenang tertinggi yang tidak dapat dibatasi oleh hukum”. Wewenang ini ada pada penguasa (pemerintah negara) mengatasi seluruh warga negara dan orang-orang lain di dalam ruang lingkup di wilayahnya. Dalam hal ini sebenarnya Bodin ingin mengatakan bahwa penguasa yang memperoleh kekuasaan tertinggi hanya untuk kurun waktu tertentu, tidak dapat disebut mempunyai kedaulatan, karena tidak lebih dari pada suatu alat untuk melaksanakan kehendak dari pihak yang memberikannya kekuasaan itu.

     Berbeda halnya dengan Grotius, Rousseau memandang bahwa kedaulatan merupakan sesuatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tidak dapat dialihkan atau diserahkan (inalienabilite), dan tidak pula dapat dihilangkan (imprescriptibilite). Pada sisi lain, Rousseau juga menyatakan bahwa kedaulatan merupakan kekuasaan untuk menyatakan kehendak umum (volonte generale) dalam suatu negara yang dinyatakan melalui suatu undang-undang untuk melaksanakan dan mewujudkan kepentingan bersama.

     Sedangkan Austin menyatakan bahwa kedaulatan tidak lahir karena perjanjian masyarakat, akan tetapi hanya karena kebiasaan semata. Dalam pandangannya, kedaulatan adalah kekuasaan dari penguasa untuk memerintah masyarakat tertentu dan tidak tunduk pada kekuasaan penguasa lain. Kekuasaan yang dimiliki penguasa tersebut dapat diwujudkan dengan pemilikan kewenangan untuk membentuk perundang-undangan.

     Disamping para pemikir yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi pemikir kenegaraan (hukum dan politik) yang memberikan pandangannya tentang kedaulatan, seperti: A.V. Dicey, Jeremy Bentham, Karl Marx, Engels, Lenin, Hans Kelsen, dan lain sebagainya.

       Pandangan tentang kedaulatan oleh masing-masing ahli yang satu sama lain saling berbeda dan terkadang kontraproduktif, membuat William Blackstone memberikan rumusan tentang syarat bagi terpenuhinya unsur kedaulatan, yaitu:

  1. Adanya kekuasaan yang tertinggi.
  2. Adanya kekuasaan yang tidak dapat disanggah.
  3. Adanya kekuasaan yang mutlak.
  4. Adanya kekuasaan yang tidak diawasi.
  1. B.     Teori Kedaulatan Tuhan

     Di dalam ilmu hukum, ilmu politik, dan ilmu pemerintahan terdapat perbedaan pandangan mengenai pembagian bentuk kedaulatan. Namun, secara umum pengelompokan pemikiran teori kedaulatan ini dapat dikelompokkan 1) Kedaulatan Tuhan  2) Kedaulatan Raja 3) Kedaulatan Negara 4) Kedaulatan Hukum 5) Kedaulatan Rakyat dan 6) Kedaulatan Pluralis. Dari Ke-6 teori di ini, akan di bahas satu teori secara deskritif, yaitu teori Kedaulatan Tuhan.

      Dalam teori ini kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan Tuhan. Tuhan dianggap tempat bergantung yang paling utama. Tiadak boleh ada yang menganggap apa atau siapapun yang lebih tinggi kekuasaannya lebih tinggi dari Tuhan. Oleh karena itu, seluruh perintah-perintah negara haruslah merupakan implementasi dari kehendak-kehendak Tuhan. Seluruh gerak pemerintahan dan rakyat haruslah sesuai dengan kehendak-kehendak Tuhan itu.

      Dalam lintasan sejarah disebutkan bahwa banyak penguasa zaman kuno yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ada yang menyembah secara sadar dan sukarela, namun lebih banyak yang menyembahnya karena terpaksa atau dipaksa oleh aparat penguasa yang mengaku sabagai Tuhan itu. Adapula yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan. Agar kekuasaannya legitim (absah), banyak pula penguasa yang merasa dirinya sebagai representasi sah dari Tuhan semesta alam.

      Teori ini berkembang pada kurun waktu abad V sampai dengan abad XV, yang dipelopori oleh Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1225-1274), Marsilius Padua (1270-1340), dan Stahl. Berkembangnya teori kedaulatan Tuhan sangat berhubungan dengan pertumbuhan agama Kristen yang muncul sebagai agama negara yang terorganisasi dalam Gereja dengan Paus sebagai kepala organisasi.

    Penganut paham teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa, pemilik kedaulatan sesungguhnya adalah Tuhan. Namun, dalam implementasi kedaulatan Tuhan tersebut, terdapat perbedaan pendapat, mengenai siapa yang berwenang sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Augustinus berpendapat, Paus adalah wakil Tuhan. Pandangan tersebut ditentang oleh Marsilius, pelaksana kedaulatan Tuhan adalah Raja.

     Berbeda dengan kedua tokoh pendukung teori kedaulatan Tuhan di atas. Thomas Aquinas berpendapat lain, beliau mengatakan bahwa Raja dan Paus kedua-duanya adalah wakil Tuhan di bumi, namun dengan tugas yang berbeda. Raja wakil Tuhan dalam urusan dunia, sedangkan Paus wakil Tuhan dalam urusan agama.

    Kedua tipe dari teori Kedaulatan Tuhan  ini kebanyakan menghasilkan kekuasaan yang absolut, despotik dan tiran. Oleh sebab itu lambat launpengakukan terhadap kedaultan Tuhan ini mulai ditinggalkan. Namun demukian, teori kedaulatan ini sebenarnya tidak pernah ditinggalkan sepenuhnya.

     Pengakuan pada keesaan dan kekuasaan Tuhan senantiasa menyertai penyelenggaraan negara. Sebagaimana halnya Indonesia, pengakuan pada Ketuhanan dan berdirinya negara berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Klausa konstitusi tersebut jelas menunjukan di mana sendi-sendi negara berdasarkan atas Ketuhanan, dalam arti nilai-nilai yang sesuai dengan kebaikan, kebenaran dan keadilan.

  1. C.    Teori Demokrasi

      Dari sekian banyak teori demokrasi yang ada dalam berbagai literatur, penulis memilih klasifikasi tiga model teori demokrasi yang di kemukakan oleh Carol C Gould sebagai bahan untuk memahami model demokrasi yang berkembang. Pemilihan ini dilakukan dengan menimbang ketajaman yang dilakukan Gould mengikutsertakan kerangka yang koheren pada tataran yang filosofis dalam meninjau konsep dasar demokrasi.

       Tiga model demokrasi yang dipaparkan oleh Goul ialah 1) model demokrasi individualisme, 2) model pluralisme, 3) model sosialisme holistik. Ketiga model ini akan dijelaskan secara sederhana dalam tulisan di bawah ini.

     Teori demokrasi model individualisme liberal terwakili oleh pemikiran tradisional seperti teori Locke, Jeverson, Bentham, James Mil, dan J.S Mill, dan analisis masa kini seperti Benn dan Peters, J.R. Pennock, dan C Cohen. Model ini menjelaskan “demokrasi sebagai pelindung orang dari kesewenang-wenang kekuasaan pemerintah, dan mendudukan pemerintah sebagai pendukung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan”. Model demokrasi ini menginginkan kesamaan universal seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai oleh”satu orang satu suara”.

      Penilaian yang khas dari model demokrasi ini diuraikan Gould sebagai berikut:

“Pemikiran yang diletakan oleh teori demokrasi ini adalah apa yang kita sebut individualisme abstrak. Teori ini memahami individu atau orang sebagai dasar entitas yang menyusun masyarakat. Ini bersifat abstrak jika dilihat dari kenyataan bahwa manusia di dalam aspeknya berbeda satu sama lain, dan sebaliknya memandang manusia sebagai kerangka sifat-sifat universal saja, yakni sifat-sifat yang dimiliki oleh semua manusia dan yang membuat mereka sebagai individu. Atas pemahaman ini individualisme liberal memandang setiap individuberada pada posisi yang sederajat dalam kemerdekaan dan hak-hak dasarnya. Individu dipahami sebagai pelaku yang bebas dalam hal ia memiliki kebebasan untuk memilih. Ini semua mensyaratkan kebebasan negatif, atau tidak adanya gangguan dari luar, sebagai kondisi yang diperlukan.

     Dari pemikiran diatas tersebut dapat kita simpulkan bahwa teori ini memberikan tekanan pada kebebasan individu yang sederajat untuk bebas memilih dengan menolak adanya intervensidari luar dalam bentuk apapun.

      Teori demokrasi dari kaum pluralisme merupakan model pemikiran yang muncul dalam tulisan seperti Madison, Dewey, Schumpeter, Dahl, dan Beserlon. Teori ini merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang menekankan kepentingan pribadi individu-individu yang saling lepas. Dalam hal ini pluralisme memutuskan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai kepentingan individual, dan pemunculanya akan menhakibatkan Konflik dalam proses politik. Sehingga demokrasi politik ditafsirkan sebagai konflik untuk memperoleh keseimbangan sosial.

    Menurut teori ini demokrasi politik memaksimumkan terwakilinya individu-individu yang kepentinganya mungkin tidak akan diwakili secara memadai oleh kekuasaan kelompok tempat ia bergabung. Teori ini menyatakan bahwa pluralisme melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan alternatif-alternatif politik yang mampu mewakili pluralitas kelompok kepentingan ataupun partai.

    Hubungan-hubungan sosial merupakan konsekuensi model ini lebih merupakan hubungan-hubungan antar kelompok dari pada hubungan antar individu. Hubungan-hubungan itu bersifat eksternal, dalam arti setiap kelompok mendefinisikan sesuatu dengan merujuk pada kepentingan yang tetap atau baku, yang pada dasarnya tidak berubah ketika berlangsung hubungan dengan kelompok lain.

    Model pandanagn ketiga, sosialisme holistik, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan demokrasi ekonomi dan muncul untuk menanggapiditolaknya keyataan hubungan sosial dan ekonomi yang dilontarkan oleh individualisme liberal. Pandangan umum ini diwakili oleh dua jenis teori utama.

      Teori yang pertama cenderung memahami demokrasi ekonomi sebagai cara pendistribusian barang dan kesempatan secara lebih adil dalam konteks bentuk-bentuk demokrasi politik Teori yang kedua menekankan perlunya demokrasi dalam mengendalikan produksi maupun distribusi, secara tradisional.

    Gambaran dari tiga model teori demokrasi yang digambarkan oleh Carol C. Gould di tas merupakan potret dasar dari perkembangan demokrasi hingga saat ini. Hal-hal baru semisal perkembangan teori tentang hak asasi manusia dan teori politik lainya juga banyak memiliki sisi sama dengan klasifikasi dasar dari tiga model teori demokrasi yang dikemukakan oleh Gould.

  1. D.    Pengertian Demokrasi     

     Pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology) baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah, dan “Cratein” atau “Cratos”  yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan/otoritas rakyat.

     Josefh A. Schmeter menyebutkan, “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk menentukan dan memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat”.

     Sidney Hook, menyebutkan “demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa”.

    Philippe C. Schmiiter dan Terry Lynn Karl menyebutkan bahwa “demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama para wakil mereka yang telah terpilih”.

    Pendapat lain menyebutkan bahwa demokrasi bukan sebagai suatu jenis organisasi, tetapi sebagi suatu keadaan tertentu dari kemakmuran, bukan sebagai cara memproduksi, tetapi sebagi suatu hasil produksi. Menurut Braybroooks, demokrasi adalah hasil dari segala sesuatu yang diinginkan. Ini adalah juga konsepsi marxis-leninis dari demokrasi. Suatu perekonomian seperti perekonomian Soviet disebut demokrasi rakyat, karena produksi dianggap mengabdi pada seluruh rakyat .

    Dari pendapat para ahli di atas terdapat titik terang, tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.

      Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa negara  yang menganut asas demokrasi, maka kekuasaan pemerintah berada di tangan rakyat. Pada negara yang menganut asas demokrasi ini didalamnya mengandung unsur; pemerintahan dari rakyat, pemerintahan oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat.

BAB III

Kesimpulan Dan Saran  

     Dalam lintasan sejarah disebutkan bahwa banyak penguasa zaman kuno yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Ada yang menyembah secara sadar dan sukarela, namun lebih banyak yang menyembahnya karena terpaksa atau dipaksa oleh aparat penguasa yang mengaku sabagai Tuhan itu. Adapula yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan. Agar kekuasaannya legitim (absah), banyak pula penguasa yang merasa dirinya sebagai representasi sah dari Tuhan semesta alam.

      Teori Kedaulatan Tuhan  berkembang pada kurun waktu abad V sampai dengan abad XV, yang dipelopori oleh Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1225-1274), Marsilius Padua (1270-1340), dan Stahl. Berkembangnya teori kedaulatan Tuhan sangat berhubungan dengan pertumbuhan agama Kristen yang muncul sebagai agama negara yang terorganisasi dalam Gereja dengan Paus sebagai kepala organisasi.

    Penganut paham teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa, pemilik kedaulatan sesungguhnya adalah Tuhan. Namun, dalam implementasi kedaulatan Tuhan tersebut, terdapat perbedaan pendapat, mengenai siapa yang berwenang sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Augustinus berpendapat, Paus adalah wakil Tuhan. Pandangan tersebut ditentang oleh Marsilius, pelaksana kedaulatan Tuhan adalah Raja.

      Dari sekian banyak teori demokrasi yang ada dalam berbagai literatur, penulis memilih klasifikasi tiga model teori demokrasi yang di kemukakan oleh Carol C Gould sebagai bahan untuk memahami model demokrasi yang berkembang. Pemilihan ini dilakukan dengan menimbang ketajaman yang dilakukan Gould mengikutsertakan kerangka yang koheren pada tataran yang filosofis dalam meninjau konsep dasar demokrasi.

     Tiga model demokrasi yang dipaparkan oleh Goul ialah 1) model demokrasi individualisme, 2) model pluralisme, 3) model sosialisme holistik.

    Pengertian demokrasi dalam tinjauan bahasa (etimology) baik asal kata maupun asal bahasanya adalah gabungan dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu wilayah, dan “Cratein” atau “Cratos”  yang berarti pemerintahan atau pemerintahan/otoritas, Sehingga demokrasi sederhananya mengandung arti berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan/otoritas rakyat.

     Dari pendapat para ahli di atas terdapat titik terang, tentang pengertian demokrasi, yaitu rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijaksanaan tertinggi dalam penyelenggaran negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat atau mewakilimya melalui lembaga perwakilan. Karena itu negara yang menganut sistem demokrasi diselengarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat mayoritas serta tidak mengesampingkan rakyat minoritas.

 

BAB IV

 Literatur

  1. Nurtjahjo Hendra, S.H., M.Hum., Januari 2006,” Filsafat Demokrasi”, Jakarta PT Bumi Askara.
  2. Held David, Oktober 2004, “Demokrasi Dan Tatanan Global”, Yogyakarta Pustaka Pelajar.
  3. Budiarjo Miriam, Mei 2008,” Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama.
  4. MD Mahmud Muhammad, 1999, “Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi”, Yogyakarta Gama Media.
  5. Dahlan, Saronji, Drs. Dan H. Asy’ari, S.Pd, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VIII Jilid 2”. Jakarta: Erlangga.
Disusun Oleh Ilham Pujakesuma, Mahasiswa FH UAD.